Welcome

Selamat Datang di Blog Gen-7 STAIMA Al-Hikam Malang

Minggu, 19 Desember 2010

IJTIHAD HANAFIAH

BAB I

PENDAHULUAN


Islam tidak mendidik pemeluknya untuk taat secara fanatik buta, akan tetapi memberikan kebebasan berfikir agar pemeluknya dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada secara baik dan benar.

Nabi pun mengajarkan para shahabatnya agar mereka dapat memahami hukum-hukum dalam aspek kehidupan sesuai dengan petunjuk-Nya, dimana hal itu hanya bisa di capai dengan jalan ijtihad

Ijtihad tidak terhenti pada masa rosul dan shahabat saja, akan tetapi berangsung terus. Menjelang berakhirnya periode sahabat telah muncul beberapa cendikiawan fiqh dari kalangan tabi'in dan atba' tabi'in.

Kalau masa Nabi sampai masa sahabat biasa di sebut "fase permulaan dan persiapan fiqh islam". Sedangkan masa tabi'in sampai dua atau tiga kurun berikutnya lazim di sebut "fase pembinaan dan pembukuan fiqh islam" yang berlangsung kurang lebih 250 tahun yakni sejak akhir abad pertama sampai separuh pertama abat ke empat hijriah.

Pada fase kedua inilah, islam mencapai puncak kejayaan hampir di semua bidang. Dan pada periode ijtihad dan keemasan hukum islam inilah lahir para mujtahid kenamaan yaitu yang di sebut Al-Aimmat Al-Arba'ah yaitu Imam Hanafi (80-150) Imam Maliki (93-179) dimana kedua mujtahid ini merupakan mujtahid periode tabi'in, sedangkan Al-Syafi'i (150-204) dan Imam Hambali (164-241) dapat di kelompokkan ke dalam periode atba' tabi'in.

Sehubungan dengan hal itu penulis ingin menjelaskan masalah metode ijtihad madzhab Hanafi, di mana hal ini sangat penting untuk mengetahui tata cara ijtihad imam Hanafi sehingga pembaca dapat membedakan metode ijtihad para Imam Madzhab.














BAB II

PEMBAHASAN


1. Pengertian Ijtihad

Ijtihad secara etimologi berasal dari kata جهد yang berarti bersngguh-sungguh menggunakan tenaga dan fikiran. Sedangkan menurut terminologi terdapat beberapa redaksi yang di berikan ulama' terhadap definisi ijtihad ini.

Menurut Ibn Al-Humam, ijtihad adalah

بذل الطاقة من الفقيه فى تحصيل حكم شرعي ظني

Menurut Abu Zahrah:

بذل الفقيه وسعه فى استنباط الاحكام العملية من ادلتها التفصيلية

Sedangkan menurut Syaukani:

بذل الوسع فى نيل حكم شرعي عملي بطريق الاستنباط

Kalau di perhatikan dengan cermat ketiga pengertian ijtihad di atas pada prinsipnya sama, yaitu usaha ahli fiqh menggunakan kemampuannya secara sungguh-sungguh untuk menemukan hukun syari'at yang amaliyah dari dalil-dalilnya. Sedangkan hukum yang di tetapkan dengan ijtihad itu sifatnya dhanni.

Meskipun syaukani tidak menyebutkan kata "faqih" dalam pengertian ijtihad yang di kemukakannya namun pengertiannya sudah tercakup oleh kata "hukmin syar'iyyin amaliyyin" karena tidak mungkin orang yang bukan ahli fiqh dapat menemukan hukum fiqh.

2. Sejarah ringkas Imam Hanafi

Imam Hanafi adalah Abu Hanifah bin An-Nukman bin Tsabit bin Zufi At-Tamimi. Beliau masih mempunyai pertalian kekeluargaan dengan Ali bin Abi Thalib ra. Beliau di lahirkan di kufah pada tahun 80 H / 699 M, pada masa pemerintahan Al-Qalid bin Abd Malik, beliau menghabiskan waktu kecil hingga tumbuh menjadi dewasa di sana. Sejak masih kanak-kanak beliau telah menghafal Al-Quran.

Dalam hal memperdalam pengetahuannya tentang Al-Quran beliau sempat berguru kepada imam Ashin, seorang ulama terkenal pada masa itu. Beliau juga di kenal orang yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu, sebagai gambaran, beliau pernah belajar fiqh kepada ulama yang paling terpandang pada masa itu yakni Humad Abu Sulaiman, tak kurang dari 18 tahun lamanya.
10 tahun sepeninggal gurunya yakni tahun 130 H, Imam pergi meninggalkan kota kufah menuju Mekkah. Beliau tinggal beberapa tahun lamanya di sana dan di tempat itu pula beliau bertemu dengan salah seorang murid Abdullah bin Abbas ra.

Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah di kenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawaddhu' dan sangat teguh memegang ajaran agama. beliau tidak tertarik kepada jabatan-jabatan resmi kenegaraan, bahkan beliau pernah menolak tawaran sebagai hakim (qadhi) yang di tawarkan oleh Al-Manshur. Konon, karena penolakannya itu, beliau kemudian di penjarakan hingga akhir hayatnya.

Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H / 767 M pada usia 70 tahun. Beliau di makamkan di pekuburan khizra. Pada tahun 450 H / 1066 M, didirikanlah sebuah sekolah yang di beri nama Jami' Abu Hanifah.

Sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya tetap tersebar melalui murid-muridnya yang cukup banyak. Diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Abu Yusuf, Abdullah bin Mubarak, waki' bin jarah, Ibn hasan Al-Syaibani dll. Sedangkan di antara kitab-kitabnya adalah: Al-Musu'an (kitab hadits, di kumpulkan oleh muridnya) Al-Makharij (di riwayatkan oleh Abu Yusuf) dan Fiqh Akbar (kitab fiqh yang lengkap).

3. Metode Ijtihad Mazhab Hanafi

Abu Hanifah dalam berijtihad menetapkan suatu hukum berpegang kepada beberapa dalil syara' yaitu Al-Qur'an, Sunnah, Ijma' Sahabat, Qiyas, Istihsan, dan 'Urf dengan perincian sebagai berikut:

a) Al-Qur'an

Imam Abu Hanifah sependapat dengan Jumhur ulama bahwa Al-Qur'an merupakan sumber hukum islam juga beliau sependapat bahwa Al-Qur'an adalah lafadz dan maknanya. Namun, Abu Hanifah berbeda pendapat mengenai terjemah Al-Qur'an ke dalam bahasa selain bahasa arab. Menurut beliau bahwa terjemah tersebut juga termasuk Al-Qur'an.

Diantara dalil yang menunjukkan pendapat Imam Hanafi tersebut adalah dia membolehkan sholat dengan menggunakan bahasa persi walaupun tidak dalam keadaan darurat. Padahal menurut Imam Syafi'i sekalipun orang itu bodoh tidak boleh membaca Al-Qur'an dengan menggunakan bahasa selain arab dalam sholat.

b) Sunnah

Kalau Imam Hanafi tidak menemukan ketentuan hukum suatu masalah dalam Al-Qur'an, dia mencarinya dalam Sunnah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 7;

Para ulama sepakat bahwa hadits shahih itu merupakan sumber hukum, namun mereka berbeda pendapat dalam menilai keshahihan suatu hadits. Menurut pendapat Imam Hanafi di lihat dari segi sanad, hadits itu terbagi dalam mutawatir, masyhur dan ahad dan semua ulama telah menyepakati kehujjahan hadits mutawatir, namun mereka berbeda pendapat dalam menghukumi hadits ahad, yaitu hadits yang di riwayatkan dari Rosulullah SAW. oleh seorang, dua orang atau jama'ah, namun tidak mencapai derajat mutawatir.

Para Imam Madzhab sepakat tentang kebolehan mengamalkan hadits ahad dengan syarat berikut:

Perawi sudah mencapai usia baligh dan berakal
Perawi harus muslim
Perawi haruslah orang yang adil, yakni bertakwa dan menjaga dari perbuatan tercela
Perawi harus betul-betul dhabit terhadap yang di riwayatkannya, dengan mendengar dari Rosulullah, memahami kandungannya, dan benar-benar menghafalnya.

Kemudian Imam Hanafi menambahkan tiga syarat selain syarat di atas, yaitu:

Perbuatan perawi tidak menyalahi riwayatnya itu.
Kandungan hadits bukan hal yang sering terjadi.
Riwayatnya tidak menyalahi qiyas apabila perawinya tidak faqih.
Diantara para perawi yang tidak faqih menurut mereka adalah Abu Hurairah, Salman Al-farisi, dan Anas Ibnu Malik.

c) Ijma' Sahabat

Apabila yang di carinya tidak di temui pada kedua sumber utama, Imam Hanafi berpegang kepada ijma' sahabat yaitu ketika ia mendapati semua sahabat mempunyai pendapat yang sama dalam suatu masalah. Apabila sahabat berbeda pendapat, ia memilih salah satu pendapat yang paling dekat menurutnya kepada Al-Qur'an dan sunnah dan meninggalkan pendapat yang lain.

Menurut bahasa Ijma' adalah kesepakatan terhadap sesuatu. Sedangkan menurut istilah adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ummat Muhammad SAW. setelah beliau wafat terhadap hukum syara'.

d) Qiyas

Apabila beliau tidak menemukan hukum di dalam Qur'an, Hadits, dan Ijma' sahabat, beliau melakukan ijtihad dengan menggunakan qiyas terlebih dahulu. Menurut bahasa Qiyas adalah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya. Menurut istilah adalah menyamakan hukum suatu kasus yang tidak di sebutkan dalam nash dengan sesuatu hukum yang di sebutkan dalam nash karena ada kesamaan dalam illatnya.


e) Istihsan

Bila ada pertimbangan khusus, beliau meniggalkan qiyas dan melakukan istihsan, dimana beliau banyak menetapkan hukum dengan istihsan, namun beliau tidak pernah menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan yang di lakukannya, beliau hanya mengatakan "astahsin" yang artinya saya menganggap baik, namun kemudian para muridnya berusaha mendefisinikan istihsan yang banyak di lakukan oleh Imam mereka.

Secara harfiyah istihsan berarti menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya baik. Sedangkan menurut istilah istihsan menurut fuqaha' madzhab Hanafi mempunyai dua arti, yaitu:

Mengambil qiyas yang samar illatnya dan meninggalkan qiyas yang jelas illatnya. Contoh: sisa minuman burung yang buas hukumnya sama dengan sisa minuman binatang buas yakni najis menurut qiyas karena liur kedua binatang itu keluar dari daging yang najis, sedangkan liur akan bertemu dengan air ketika minum. Akan tetapi binatang buas minum dengan bibirnya sedangkan burung yang buas minum dangan paruhnya maka tentunya liurnya tidak bertemu dengan air sehingga sisa minuman burung yang buas di qiaskan kepada sisa minuman manusia karena daging keduanya tidak boleh di makan sedangkan liur, juga keluar dari keduanya maka karna sisa minuman manusia tidak najis begitu juga sisa minuman burung yang buas. Inilah yang di namakan istihsan.

Mengecualikan masalah yang bersifat parsial (juz'i) dari kaidah umum, karena terdapat dalil yang menuntut demikian. Contohnya: ijarah (sewa-menyewa), secara qiyas tidak sah karena menjual sesuatu yang tidak ada zatnya akan tetapi istihsan membolehkannya karena adanya nash yaitu;
اانه صلى الله عليه وسلم احتجم واعطى الحجام اجره. رواه الشيخان

f) 'Urf

Metode ijtihad yang terakhir yang di pergunakan oleh Imam Hanafi adalah 'urf. Pengertian dari urf adalah suatu ucapan atau perbuatan yang telah di kenal manusia dan telah menjadi tradisi baik untuk di laksanakan maupun di tinggalkan. Di kalangan masyarakat, 'urf ini sering di sebut sebagai adat.

Pengertian di atas, juga sama dengan pengertian menurut istilah ahli syara'. Di antara contoh 'urf yang bersifat perbuatan adalah adanya saling pengertian di antara manusia tentang jual beli tanpa mengucapkan shighat. Sedangkan contoh 'urf yang bersifat ucapan adalah tentang adanya penggunaan lafal al-walad atas anak laki-laki bukan perempuan. Dalil yang menunjukkan adanya 'urf ini adalah sabda nabi Muhammad SAW. Yaitu:
العادة محكمة

Kemudian apabila 'urf ini bertentangan dengan Al-Qur'an atau hadits maka 'urf ini di tolak dan tidak dapat di jadikan dalil karena sudah bertentangan dengan Nash.

BAB III

KESIMPULAN


Dari keterangan di atas, maka dapat di simpulkan bahwa Imam hanafi dalam mencetuskan sebuah hukum menggunakan beberapa metode yaitu menggunakan Al-Qur'an sebagai prioritas utama, kemudian Sunnah, Ijma' sahabat, Qiyas, Istihsan dan 'urf yang beliau pergunakan secara berurutan.


DAFTAR PUSTAKA


Ahmad ibrohim, Ilmu Ushul Fiqh, Qahirah:Darul Anshar, 1839

Zidan, Abd Karim, Al Wajiz fi ushul fiqh, Beirut: muassasah Al Risalah, 1996

Iskandar Usman, Istihsan Dan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 1994

Syafi'i, Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung:CV Pustaka Setia,1999

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Madzhab, Beirut:Dar Al-Jawad, 2000

Saiban, Kasuwi, Metode Ijtihad Ibnu Rusyd, Malang:Kutub Minar, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar