Welcome

Selamat Datang di Blog Gen-7 STAIMA Al-Hikam Malang

Selasa, 21 Desember 2010

Metode Dalam Menyelesaikan At-Ta’àrudl

Metode Dalam Menyelesaikan At-Ta’àrudl
Oleh : Ahkmad said
Dosen pembimbing : Prof.Dr,Kasuwi Saiban. Mag

A. Pendahuluan
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونتوب إليه ونعوذ بالله مـن شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلاّ الله وأن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم أما بعد:
اِذَا حَكَمَ أَالْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَاِذَ حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ، (رَوَاهُ الْبُخَارِي)
Dalam makalah ini akan dibahas bagaimana cara menyelesaikan dalil-dalil yang at-Ta’arudl menurut jumhuru al-Ulama dan Hanafiyyah dengan perincian sebagai berikut
1. Pengertian at-Ta’arudl
2. Cara menyelesaikan at-Ta’arudl
a) Menurut Jumhur Ulama’
b) Menurut Hanafiyyah

B. Pembahasan
1. Pengertian at-Ta’arudhl
Secara bahasa al-Ta’arudhl berasal dari lafal [تعارض- يتعارض-تعارضا ]yang berarti saling berhadapan,al-adillah [الادلة] bentuk jama, dari dalil yang berarti alasan,argument ,dalil sedangkan menurut istilah usul fiqh adalah adanya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalil lainnya yang dalil tersebut berada dalam satu derajat.
2. Cara menyelesaikan al-Ta’arudl
Didalam kalangan ulama terdapat dua pendapat yang berbeda dalam menyelesaikan
al-Ta’arudh.
a. Pendapat jumhur Ulama’
Menurut jumhur Ulama’ metode yang ditempuh dalam menyelesaikan al-Ta’arudh adalah:
1. Al-jam’u bain al-Muta’aridlain [ الجَمْعُ بَيْنَ المُتَعَاِرضَيْنِ] Yaitu mengumpulkan dan mengkompromikan dua dalil yang bertentangan.
Metode ini dapat ditempuh dengan menta’wilkan lafal yang umum kelafal yang khusus lafal yang dhohir kelafal yang nash lafal yang muthlaq ke lafal yang muqayyad.
Contoh surat al-Baqarah 180 dengan an-Nisaa 11

"diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa."[al-Baqarah 180]

"Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan;" [an-Nisaa 11]

Ayat pertama mewajibkan seseorang yang kedatangan tanda-tanda kematian untuk member wasiat kepada kedua orang tua dan sanak saudaranya[kerabat] tentang harta yang ia miliki.
Ayat kedua secara otomatis kedua orang tua dan sanak saudara [kerabat] ahli warisnya akan mendapatkan harta pusaka tanpa melalui wasiat.
Secara dhahir kedua ayat tersebut bertentangan, ayat pertama mewajibkan wasiat sedangkan ayat kedua tidak mewajibkan wasiat. Pertentangan kedua ayat tersebut melalui metode aljam’u dapat diselesaikan dengan cara ta’wil yaitu dengan mengartikan ayat pertama dengan wajib memberikan wasiat kepada kedua orang tua dan kerabat ahli waris yang tehalang untuk memperoleh bagian warisan , misalnya karna berbedaan agama.
2. At-Tarjiih [الترجيح] dengan menguatkan salah at-Dalil berdasarkan indicator dalil yang mendukungnya.
Apabila pengkompromian kedua dalil tidak bisa dilakukan, maka metode yang ditempuh menurut jumhur ulama’ adalah dengan cara tarjih.dengan cara tarjih ini seorang mujtahid bisa menetapkan hukum berdasarkan dalil yang menurutnya dalil yang lebih kuat.
Cara untuk mengetahui kuatnya salah satu dalil nash yang saling bertentangan bisa dilihat dari beberapa segi sebagai berikut:
a) Dari Segi Sanad
Dalam segi sanad ini perlu dilihat jumlah perawinya iika sebuah dalil diriwayatkan oleh banyak perawi maka dilil tersebut lebih kuat disbanding dengan dalil yang perawinya yang sedikit.
Dan juga seorang mujtahid harus melihat kualitas perawinya,seorang perawi yang hafalanya lebih banyak dan lebih tau tentang apa yang diriwayatkan, harus lebih diprioritaskan dibanding perawi yang sedikit perawinyasedikit hafalan dan pengetahuanya, sebab hafalan dan pengetahuan itu membawa nilai kepada seorang dalam menguasaan periwayatan dan pengetahuan hukum.
Posisi seorang perawi saat meriwayatkan sebuah hadish perlu dipertimbangkan. Seorang perawi hadish yang terkait langsung tentang suatu peristiwa harus lebih didahulukan dari pada yang lain.
Contoh hadish dari Maimunah ra.istri Rasulullah saw. Yang menceritakan bahwa Rasulullah saw.mengawininya dalam keadaan bukan ihram seperti yang tercantum dalam hadish
عن ميمونةَ قالت تزَوخني رسول الله صلى الله عليه وسلم ونَحن حَلاَ لاَنِ----الحديث { رواه ابو داود}
Artinya Dari Maimunah ra.Rasulullah saw. Mengawini saya,sedangkan kami tidak dalam keadaan ihram [HR Abu Dawud]
Hadish tersebut bertentangan dengan riwayat dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah saw mengawini Maimunah dalam keadaan ihram. Seperti yang tercantum dalam hadish
عن ابى عباس رضى الله عنهما ان انبي صلى الله عليه وسلم تَزَوَّخَ ميمونةُ وهو مُحْرِمٌ { رواه ابو داود}
Artinya: dari Ibnu Abbas ra. Sesungguhnya rasulullah saw.mengawini Maimunah sedangkan beliau dalam keadaan ihram. [HR Abu Dawud]
Dalam kasus seperti ini jumhur ulama berpendapat bahwa hadish Maimunah ra. Lebih kuat dibanding hadish Ibnu Abbash ra.sebab Maimunah ra.terkait langsung dengan peristiwa tersebut.
b) Dari Segi Matan
Pentarjih dari segi matan antara lain dapat dilakukan dengan mendahulukan dalil yang khusus dari dallil yang bersifat umum.
Contoh surat at-Taubah 5
"apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."[at-Taubah 5]
Ayat diatas secara umum memerintahkan untuk memerintahkan untuk membunuh orang-orang musyrik pada waktu peperangan. Ayat ini bertentangan dengan hadish riwayat dari Anas Ibnu Malik ra.
عن عنَسِ بن مالك ان انبي صلى الله عليه وسلم قَالَ انْطَلِقُوْا بسم اللهِ وبالله وعلَي مِلَّةِ رسول الله ولا تَقْتُلُوْا شَخْصًا فَنِيًا ولا طِفْلاً ولا صَغِيْرًا ولا امرَاَةً---الحديث{ رواه ابو داود}
Dari Anas Ibnu Malik sesungguhnya Rasulullah saw.berangkatlah kalian berperang dengan menyebut asma Allah dan atas agama Rasullnya. Dan janganlah kamu membunuh orang tua renta, anak kecil dan perempuan....[HR Abu Dawud]
Hadis ini secara khusus melarang membunuh orang tau,anak-anak, dan perempuan dalam perang,sehingga Nampak bertentangan dengan dalil umum ayat 5 surat at-Taubah tersebut.
Sesuai dengan ketentuan tarjih yang harus lebih menguatkan dalil khusus dari pada dalil umum,maka yang harus dikuatkan dalam kasus ini adalah dalil yang khusus yaitu hadis yang melarang membunuh tiga orang tersebut.
Selain ketentuan di atas yang teramasuk pentarjih dari segi matan adalah
- Mendahulukan makna teks hakikat dari pada makna majaz
- Mendahulukan makna teks daripada makna perbuatan
- Mendahulukan teks yang mengandung larangan dari teks yang mengandung perintah
- Mendahulukan makna perintah dari pada makna boleh saja
c) Dari segi hukum
Pentarjih dari segi hukum antara lain bias dilakukan dengan mendahulukan teks yang mengandung hukum menghindarkan hukuman dari teks yang yang mewajibkan hukuman, sebab jika dua kemungkinan itu terjadi, maka hukum tersebut termasuk katagori syubhat sedangkan hukum yang subhat harus dihindari, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Masud ra.
اِدْرَؤُوْا الحُدُوْدَ بِالشَّبْهَاتِ-----الحديث {رواه البجاري}
Artinya:hindarkan hukum-hukum had karena adanya subhat [HR bukhori]
Mendahulukan dalil yang mengandung hukum haram dari dalil yang mengandung hukum mubah. sesuai dengan kaidah usul fiqh
ااِذَاجْتَمَعَ الحَلاَلُ والحرامُ غُلب الحرام
Artinya:Apabila terkumpul antara yang halal dan yang haram, maka dimenangkan yang haram. Misalnya pertentangan hadish yang diriwayatkan Abu Dawud:
عن حِزَامِ بن حكيم عن عَمِّهِ اَنَهُ سال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَا يَحِلُّ لِي مِن امرَاَتِي وهي حَائِضٌ قال لَكَ مَا فَوْقَ الاءِزَارِ{ رواه ابو داود}
Artinya: Dari Hinam Ibn Hakim dari pamannya, sesungguhnya dia bertanya kepada Rasulullah saw.’apa yang boleh aku lakukan terhadap istriku yang sedang haidl ? Rasulullah saw. menjawab ‘segala yang berada di atas kain pinggang’ [HR abu dawud]
عن انس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اِصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ غَيْر النِكَاحَ----الحديث{ رواه ابو داود}
Artinay: Dari Anas ra. Dia berkata Rasulullah saw. Bersabda “perbuatlah segala sesuatu [terhadap istrimu yang sedang haidl] selain bersetubuh…[HR Abu Dawud]
Hadish pertama menunjukkan hukum haram terhadap istri yang sedang haidl untuk berbuat sesuatu diantara pusar dan lutut sedangkan hadish kedua membolehkan asal tidak bersetubuh.
d) Dari Segi Factor Lain Di Luar Nash
Dari segi factor luar nash dapat dilakukan dengan mendahulukan dalil yang mendapat dukungan dalil lain, baik al-Quran sunnah ijma’ maupun qiyas serta dalil yang didukung amal khulafa’ al-rasyidiin
Conto hadish riwayat Abu Dawud
عن سَمُرَةَ قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الجُمْعَةِ فَهُوَ اَفْضَلَ{ رواه ابو داود}
Artinya: Dari Samurah, dia berkata, Rasulullah saw. Bersabda barang siapa yang mandi pada hari juma’t maka dia lebih utama [HR Abu Dawud]

Dengan hadish riwayat Bukhori
عن ابي سعيدٍ الخدْرِيِّ رضي الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال غُسْلُ يَوْمِ الجُمْعَةِ وَاجِبٌ عَلَي كُلِّ مُحْتَلِمٍ{رواه البجاري}
Artinya: Dari Abu Said ra.sesungguhnya Rasulullah saw.bersabda mandi pada hari juam’t adalah wajib bagi tiap orang dewasa [HR Bukhori]
Hadish pertama menunjukkan bahwa mandi hari juma’t adalah sunnah.
Sedangkan hadish yang kedua menunjukkan bahwa mandi hari juma’t adalah wajib.
Dalam hal ini hadish pertama lebih kuat disbanding hadish yang kedua karena sahabat Usman ra. Tidak melakukan mandi pada hari juam’t dan tidak ditegur oleh sahabat Umar ra. Ketika hal ini diketahuinya.
3. Al-Nasahk [النسخ] dengan membatalkan salah satu dalil hukum.
Apabila kedua dalil tidak bisa diselesaikan dengan metode tarjih maka metode yang ditempuh menurut jumhur Ulama adalah dengan metode Nasahk seorang mujtahid meneliti mana diantara dua dalil tersebut yang datangnya lebih akhir. Setelah itu ia tetapkan suatu hukum atas dasar dalil yang datangnya lebih akhir tersebut,dan membatalkan dalil hukum yang datangnya sebelumnya. Pepbatalan ini menurut ulama khallaf adalah untuk merealisasikan kemaslahatan manusia yang kadang menghendaki perubahan seirung dengan adanya perubhan kondisi manusia itu sendiri.
Contohnya mengenai larangan Rasulullah saw.untuk menyimpan daging kurban, karena daging tersebut masih diperlukan oleh orang-orang baduwi yang dating kemadinah pada saat penyembelihan kurban, dan Rasullulah menghendaki agar daging tersebut dibagi-bagikan kepada mereka.selanjutnya , ketika orang-orang baduwi sudah tidak memerlukan lagi, maka Rasulullah saw.membolehkan untuk menyimpan daging-daging tesebut. Sebagaimana sabdah rasulullah saw. Yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ra. dari Aisyah ra.
عَن عَمْرَةَ بِنتِ عبد الرحمن قالت سَمِعْتُ عائشة تَقُولُ قَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم اِنمَّاَ نَهَيْتُكُمْ مِنْ اَجْلِ الدَّافَّةِ الَّتِي دَفَّتْ عَلَيْكُمْ فَكُلُوْا وَتَصَدَّقُوُا وَادَّخِرُوْاؤ { رواه ابو داود}
Artinya: dari Amrah binti Abd al-Rahman, ia berkata saya mendengar Aisyah ra.berkata Rasulullah saw. Bersabda sesungguhnya dulu saya melarang kalian[untuk menyimpan daging kurban] karena adanya orang-orang baduwi yang mendatangi kalian, maka sekarang makanlah, sedakahkan dan simpanlah [HR Abu Dawud]
Contoh diatas adalah nasahk yang secara eksplisit pepbatalannya dapat dilihat dari teks.selain nasahk yang eksplisit tersebut, ada dalil yang nasahk secara implisit, yang tidak dapat ditunjukkan secara jelas dalam teks.
Contohnya mengenai kewajiban wasiat, seperti yang tercantum dalam al-Quran surat al-Baqarah 180

"Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf[112], (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa."[al-Baqarah 180]
Ayat tersebut menurut jumhur ulama dinasahk oleh ayat tentang pembagian waris, seperti tercantum dalam surat an-Nisa.
"Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan" [an-Nisa 11]
4. Suquth al-Muta’aridloin [السقوط المتعارضي] yaitu dengan meninggalkan kedua dalil yang saling bertentangan.
Jika cara ketiga nasahk tidak bisa ditemuh maka kedua mujtahid boleh meninggalkan kedua dalil yang saling bertentangan itu,dengan mengambil suatu permasalahan kepada bara’ah al-ashliyyah [ البَرَاعَة الاصلِيَة] sebagai ulama usul fiqh berpendapat bahwa sebelum seorang mujtahid meninggalkan kedua dalil, ia diberi kesempatan untuk menempuh metode takhyir yaitu dengan memilih salah satu dalil yang ia kehendaki tanpa menganngap adanya pertentangan diantara dalil-dalil yang ada.jika hal itu tidak memungkinkan , maka baru kedua dalil tersebut ditinggalkan, dan mengambil suatu permasalahan kepada bara’ah al-ashliyyah [ البَرَاعَة الاصلِيَة]
Inilah cara-cara yang harus ditempuh menurut jumhur ulama.dan cara melakukan atau penerapannya dilakukan secara berturut.
b. Pendapat Hanafiyyah
Kalangan hanafiyyah berpendapat bahwa dalam menyelesaikan dua dalil yang bertentangan ,
1) [Nasahk] maka terlebih dahulu melihat makna kedua dalil tersebut yang lebih dulu diturunkan. Jika hal itu bisa diketahui maka dalil yang lebih dahulu dinasahk oleh dalil yang turunnya belkangan.
2) [tarjih]Jika ternyata tidak bisa diketahui mana dalil yang lebih dahulu diturunkan mana yang belakangan maka cara yang ditempuh adalah dengan cara mentarjih yaitu mencari dalil mana yang lebih kuat diantaranya.
3) [al-jam’u]Jika cara ini juga tidak bisa dilakukan maka sedapat mungkin mereka mengkompromikan kedua dalil tersebut [al-Jam’u] [الجمع]
4) [al-suquth]Jika cara ini juga tidak bisa dilakukan maka mereka meninggalkan kedua dalil tersebut al-Suquth­ .
Keempat cara inilah yang mereka gunakan yaitu al-nasahk[النسخ ] al-Tarjih[الترجيح] al-jam’u[الجمع] al-sukuth [السقوط] dilaksanakan secara berurutan.


D. Daftar pustaka
Saiban Kasuwi Dr, Prof,Metode Ijtihad Ibnu rusdy kutub minar,Malang 2005
Syafi’I Rahman H,Prof,Dr ilmu Usul Fiqih, pustaka setia, Bandung 1999
Khalaf Abd wahhab, Ilmu Usul Fiqh, darul fikri,1995
Abu Zahra Muhammad ,Prof,Usul Fiqih, pustaka firdaus,pajinten barat 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar