Welcome

Selamat Datang di Blog Gen-7 STAIMA Al-Hikam Malang

Sabtu, 25 Desember 2010

SUMBER AJARAN TASAWUF

SUMBER AJARAN TASAWUF
Oleh : 
Ahmad Buchori Muslim
Zaka Abdi
Ahmad Said
Chusnul Muna
M Solihin
PENDAHULUAN
Puji syukur kehadirat Allah, yang telah mengilhami para salaf sufiyah dengan ilmu ihsannya yang dewasa ini berwujud menjadi ilmu tasawuf, sebagai bukti buat kita bahwa apapun yang Allah kehendaki jadi, pasti jadilah ia. Sholawat beriring salam semoga tersampaikan khusus kepada nabi Muhammad SAW sebagai Nabi plus Rasul rujukan kedua setelah Allah bagi para sufi dalam mempelajari, mendalami dan mengembangkan ilmunya di jagat Allah ini.
Agama islam ialah agama yang sempurna, yang didalamnya mengatur berbagai hal yang terkait dengan perjalan manusia. Baik itu berhubungan dengan syariah. ibadah, akhlak, muamalah, pendidikan, hubungan dengan Allah, dan ketinggian nilai-nilai kemanusiaan, semuanya diatur dalam ajaran islam. Begitupun juga halnya dengan tasawuf yang telah ada sejak dahulu hingga sekarang.
Dalam makalah yang cukup singkat ini penulis akan membahas tentang Sumber-sumber Ilmu Tasawuf yang dianggap penting untuk mengetahui apa yang para sufi jadikan dasar sehingga mereka mengamalkan ilmu tasawuf tersebut. Namun dalam hal ini yang penulis maksudkan dengan sumber disini adalah: landasan, dasar, pondasi, tempat berpijak, yang dengannya pasa sufi mempelajari, mendalami, dan mengembangkan ilmunya dalam kehidupan dijagat Allah ini.
Semoga dengan adany makalah yang begitu singkat ini dapat memberikan informasi kepada kita tentang hal-hal yang menjadi sumber dari ilmu tasawuf tersebut, sehingga menjadikan kita lebih bersyukur kepa Allah SWT, yang telah menjadikan segala sesuatu dengan penuh hikmah didalamnya. Selanjutnya penulis mohon maaf bila ada kesalah di dalam penulisan makalah ini dan mohon adanya keritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun untuk perbaikan kedepannya.



PEMBAHASAN
Tasawuf merupakan keinginan kuat untuk mendapatkan ridho Allah dalam bentuk perkataan, perbuatan, niat, dan dalam pemikiran dunia dan akhirat. Tasawuf dalam pengertian ini menempatkan manusia pada kedudukan yang tinggi. Inilah bagian dari wahyu ilahi dan agama itu sendiri karena dengan karakteristik ajaran ini akan muncul pencarian kesempurnaan dari dalam. Ajaran ini merupakan penyembuahan dari penyakit jiwa. Tiada suatu manusiapun kecuali mereka yang terlindungi, pasti terjangkit penyakit jiwa dan moral, sedikit atau banyak. Seluruh risalah ilaahiyah datang untuk mengobati penyakit jiwa dan moral tersebut.
Materi ajaran tasawuf dilihat dari segi ibadah dan akhlaq, dalam pengertian yang luas, sudah terdapat dalam al-Qur'an dan sunnah sebagaimana keberadan ilmu agama yang lain. Jika ilmu taswuf tidak ditemukan pada masa ini, ajaran tentang ibadah, akhlaq, pendidikan jiwa, hubungan dengan Allah, dan ketinggian nilai-nilai kemanusiaan, semuanya diatur dalam islam. Ajaran-ajaran itulah yang disebut dengan tasawuf sebagaimana yang dikenal oleh masyarakat pada waktu itu. Bisa jadi ilmu tasawuf itu menjadi ilmu yang baru, tetapi materi dan cakupan bahasannya merupakan sesuatu yang lama, seiring lamanya al-Qur'an dan sunnah, demikian juga dengan keberadaan ilmu islam lainnya.
Sebagaimana layaknya ilmu tauhid, ilmu fiqih, ilmu akhlaq, ilmu qalam, ulumul qur’an, ulumul hadits dan ilmu-ilmu lain dalam Islam yang penamaannya baru muncul setelah Rasul SAW wafat, demikian juga dengan ilmu tasawuf, ketetapan namanya baru dikenal jauh setelah Rasul SAW wafat. Ada beberapa hal yang menjadi sumber dari ilmu tasawuf tersebut yaitu: Allah, Rasul, ijma’ sufi, ijtihad sufi dan qiyas sufi. Untuk lebih dalamnya mari kita bahas satu persatu dari sunber tasawuf tersebut.
  1. Allah
Allah merupakan Zat sumber ilmu tasawuf, tidak ada seorangpun yang mampu menciptakan ilmu tasawuf dari selain Zat Allah. Namun Allah mengajarkan secercah ilmuNya kepada para sufi lewat hidayah (ilham) baik langsung maupun dengan perantaraan lain selain Allah yang Allah kehendaki. Ada kalanya lewat Al-Qur’an dengan metode iqro’ul Qur’an (membaca, menyimak, menganalisa isi kandungan Al-Qur’an). Dimana dalam alqur’an itu terdapat beberapa ayat yang memang berkenaan dengan perintah tasawuf, meski tidak secara langsung berbentuk tasawuf, tapi karena adanya pesan yang tersirat dalam ayat al-qur’an yang sesungguhnya menyeru untuk bertasawuf. Seperti ayat tentang kemungkinan manusia dapat saling mencintai (mahabbah) dengan Tuhan. Hal itu misalnya ayat 54 surat al-Maidah :
Selain tentang mahabbah antara kholik dengan makhluknya, dalam al-qur’an pun Allah menerangkan tentang keunggulan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia. Hal ini menjadi salah satu amalan kau sufi (yaitu meninggalkan segala kehidupan yang berhubungan dengan keduniaan dan memfokuskan dirinya untuk kehidupan akhiratnya saja, atau sering disebut dengan zuhud). Diantaranya ialah ayat 77 pada surat an-Nisaa dan ayat 20 pada surat al-Hadid.
Dan masih banyak lagi ayat-ayat dalam al-Qur’an yang berhubungan dengan tasawuf. Yang sudah tentu itu semua menjadi sumber dari ilmu tasawuf yang diajarkan dan diamalkan oleh seorang sufi.
Selain melalui al-qur’an, Ada pula melalui alam dengan cara perenungan sufi dan lain sebagainya yang pada intinya merupakan hidayah dari Allah, kemudian berwujud menjadi ide tercerahkan dalam nuansa pemikiran dan keyaqinan di dalam hati untuk dimanifestasikan dalam realita kehidupan nyata sebagai bentuk pengabdian diri kepada Allah SWT.
  1. Rasul
Rasul merupakan sumber kedua setelah Allah bagi para sufi dalam mendalami dan pengambangkan ilmunya, karena hanya kepada Rasul sajalah Allah menitipkan wahyuNya. Tentulah Rasul pula yang lebih banyak tahu tentang sesuatu yang tersirat dibalik yang tersurat dalam Al-Qur’an. Selain itu rosul pulalah satu-satunya manusia yang sempurna dalam segala hal, Beliau adalah insan panutan bagi semua umat manusia terutama kaum sufi yang senantiasa mencoba meniru semua kelakuan Rasulullah denag sebaik-baiknya.
Seperti sebelum Nabi diangkat menjadi rasul, berhari-hari ia mengasingkan diri di Gua Hira, terutama pada saat bulan Ramadhan. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan yang pada waktu itu diagung-agungkan oleh orang arab yang tengah tenggelam di dalamnya, seperti peraktek pedagangan dengan perinsip menghalahkan segala cara. Selama di Gua Hira, Rasulullah hanyalah bertafakur, beribadah, dan hidup sebagai seorang zahid. Beliau hidup sangat sederhana, terkadang mengenakan pakaian tambalan, tidak makan atau minum kecuali yang halal, dan setiap malam senantiasa beribadah kepada Allah SWT., sehingga siti Aisyah bertanya, “mengapa engkau berbuat begini, ya Rasulullah padahal Allah senantiasa mengampuni dosamu?” Rasulullah menjawab “apakah engkau tidak menginginkanku menjadi hamba yang bersyukur kepada Allah? “.
Selain dari itu di dalam hadits Rasulullah banyak dijumpai keterangan yang berbicara tentang kehidupan rohaniah manusia yang dapat difahami dengan pendekatan tasawuf, seperti hadits;
من عرف نفسه فقد عرف ربه
Artinya:
Barangsiapa yang mengenal dirinya sendiri berarti ia mengenal tuhannya.”
لا يزال العبد يتقرب الي بالنوافل حتى أحبه فاءذا أحببته كنت سمعه الذي يسمع وبصره الذي يبصربه ولسانه الذي ينطق به ويده الذي يبطش بها ورجله الذي يمشى بها فبي يسمع فبي يبصر وبي ينطق وبي يعقل وبي يبطش وبي يمشى
Artinya:
senantiasa seorang hamba itu mendekatkan diri kepadaku dengan amalan-amalan sunnah sehingga aku mencintainya. Maka tetkala mencintainya, jadilah aku pendengarnya yang dia pakai untuk melihat dan lidahnya yang dia pakai untuk berbicara dan tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan kakinya yang dia pakai untuk berusaha; maka dengan-Ku-lah dia mendengar, melihat, berbicara, berfikir, meninjau dan berjalan.”
Semua keterangn tersebut ada pada diri rasulullah yang oleh para sufi dijadikan sebagai sumber kedua dari ilmu tasawuf setelah Allah SWT.
  1. Kehidupan Para Sahabat
Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat Nabi SAW yang berkaitan dengan keteguhan iman, ketaqkaan, kezuhudan, dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu, setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di abad-abad sesudahnya.
Kehidupan para sahabat dijadikan acuan oleh para sufikarena para sahabat sebagai murid langsung Rasulullah SAW dalam segala perbuatan dan ucapan mereka senantiasa mengikuti kehidupan Nabi. Oleh sebab itu, perilaku kehidupan mereka dapat dikatakan sama dengan perilaku kehidupan Nabi SAW, kecuali dalam hal-hal tertentu yang khusus bagi Nabi SAW. Setidak-tidaknya kehidupan para sahabat adalah kehidupan yang paling mirip dengan kehidupan yang dicontohkan oleh nabi SAW. Oleh karena itu al-Qur’an memuji mereka:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ 
100. Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.

orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (Q.s.9:100).
Karena hal itulah para sufi menjadikan kehidupa para sabat Nabi sebagai sumber ke tiga dari ajaran tasawuf. Dengan harapan bias menjadi pengikut yang sebaik-baiknya agar dapat tergolongkan kepada orang-orang yang mendapatkan ridho Allha dan surga-Nya seperti yang disebutkan dalam ayat tersebut diatas.
  1. Ijma’ Sufi
Ijma’ Sufi (kesepakatan para ‘ulama tasawuf) merupakan esensi yang sangat penting dalam ilmu tasawuf, karenanya mereka dijadikan sebagai sumber yang ke tiga dalam ilmu tasawuf setelah Al-Qur’an Dan Al-Hadits.
  1. Ijtihad Sufi
Dalam kesendiriannya, para sufi banyak menghadapi pengalaman aneh, pengalaman itu sebagai alat pembeda antara kepositifan dengan kenegatifan dalam pengalaman itu. Maka diperlukan ijtihad bagi setiap sufi sebagai sumber yang ke 4 dalam ilmu tasawuf, jika belum ditemukan dalam Qur’an, Hadits maupun ijma’ sufi.
  1. Qiyas Sufi
Qiyas merupakan penghantar sufi untuk dapat berijtihad secara mandiri jika sedang terpisah dari jama’ahnya, maka qiyas ditempatkan pada sumber ke lima dalam ilmu tasawuf.
  1. Nurani Sufi
Setiap sufi positif, memiliki nurani yang tajam di hatinya, ada yang menyebutnya dengan istilah firasat, rasa, radar batin dan sebagainya merupakan anugerah Allah terhadap kaum sufi, bias dari keikhlashan, kesabaran dan ketawakkalannya dalam beribadah kepada Allah tanpa kenal lelah. Maka nurani sufi merupakan sumber yang ke enam dalam ilmu tasawuf.
  1. Amalan Sufi
Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ Sufi, Ijtihad Sufi, Qiyas Sufi dan Nurani Sufi seperti yang penulis jelaskan di atas akan sia-sia tanpa pengamalan kaum sufi. Maka amalan sufi merupakan sumber ke tujuh dalam ilmu tasawuf. Jika ke tujuh sumber di atas mampu anda telusuri, maka penulis yaqin anda akan tahu, mengerti, memahami dan mampu menghayati hakikat ilmu tasawuf.
Namun pada umumnya ada satu tradisi yang sangat unik di kalangan sufi, dengannya para sufi memiliki derajat tersendiri jika dibandingkan dengan para faqih, filosof dan ahli lainnya, yaitu: “Kerahasiaan (rahasia).” Kaum sufi memegang teguh tradisi rahasia (menyembunyikan) nurani dan amalinya, karena jika dua hal tersebut diketahui umum dapat menimbulkan kesalah fahaman, hal ini disebabkan dimensi tariqat (perjalanan) sufi merupakan dimensi batin (roh, rohani, jiwa, sesuatu esensi tersembunyi, gaib) yang tidak semua orang mampu menjalaninya, namun para sufi amat merindukannya disebabkan semata karena cinta kepaNya.

Selasa, 21 Desember 2010

Metode Dalam Menyelesaikan At-Ta’àrudl

Metode Dalam Menyelesaikan At-Ta’àrudl
Oleh : Ahkmad said
Dosen pembimbing : Prof.Dr,Kasuwi Saiban. Mag

A. Pendahuluan
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونتوب إليه ونعوذ بالله مـن شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلاّ الله وأن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم أما بعد:
اِذَا حَكَمَ أَالْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَاِذَ حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ، (رَوَاهُ الْبُخَارِي)
Dalam makalah ini akan dibahas bagaimana cara menyelesaikan dalil-dalil yang at-Ta’arudl menurut jumhuru al-Ulama dan Hanafiyyah dengan perincian sebagai berikut
1. Pengertian at-Ta’arudl
2. Cara menyelesaikan at-Ta’arudl
a) Menurut Jumhur Ulama’
b) Menurut Hanafiyyah

B. Pembahasan
1. Pengertian at-Ta’arudhl
Secara bahasa al-Ta’arudhl berasal dari lafal [تعارض- يتعارض-تعارضا ]yang berarti saling berhadapan,al-adillah [الادلة] bentuk jama, dari dalil yang berarti alasan,argument ,dalil sedangkan menurut istilah usul fiqh adalah adanya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalil lainnya yang dalil tersebut berada dalam satu derajat.
2. Cara menyelesaikan al-Ta’arudl
Didalam kalangan ulama terdapat dua pendapat yang berbeda dalam menyelesaikan
al-Ta’arudh.
a. Pendapat jumhur Ulama’
Menurut jumhur Ulama’ metode yang ditempuh dalam menyelesaikan al-Ta’arudh adalah:
1. Al-jam’u bain al-Muta’aridlain [ الجَمْعُ بَيْنَ المُتَعَاِرضَيْنِ] Yaitu mengumpulkan dan mengkompromikan dua dalil yang bertentangan.
Metode ini dapat ditempuh dengan menta’wilkan lafal yang umum kelafal yang khusus lafal yang dhohir kelafal yang nash lafal yang muthlaq ke lafal yang muqayyad.
Contoh surat al-Baqarah 180 dengan an-Nisaa 11

"diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa."[al-Baqarah 180]

"Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan;" [an-Nisaa 11]

Ayat pertama mewajibkan seseorang yang kedatangan tanda-tanda kematian untuk member wasiat kepada kedua orang tua dan sanak saudaranya[kerabat] tentang harta yang ia miliki.
Ayat kedua secara otomatis kedua orang tua dan sanak saudara [kerabat] ahli warisnya akan mendapatkan harta pusaka tanpa melalui wasiat.
Secara dhahir kedua ayat tersebut bertentangan, ayat pertama mewajibkan wasiat sedangkan ayat kedua tidak mewajibkan wasiat. Pertentangan kedua ayat tersebut melalui metode aljam’u dapat diselesaikan dengan cara ta’wil yaitu dengan mengartikan ayat pertama dengan wajib memberikan wasiat kepada kedua orang tua dan kerabat ahli waris yang tehalang untuk memperoleh bagian warisan , misalnya karna berbedaan agama.
2. At-Tarjiih [الترجيح] dengan menguatkan salah at-Dalil berdasarkan indicator dalil yang mendukungnya.
Apabila pengkompromian kedua dalil tidak bisa dilakukan, maka metode yang ditempuh menurut jumhur ulama’ adalah dengan cara tarjih.dengan cara tarjih ini seorang mujtahid bisa menetapkan hukum berdasarkan dalil yang menurutnya dalil yang lebih kuat.
Cara untuk mengetahui kuatnya salah satu dalil nash yang saling bertentangan bisa dilihat dari beberapa segi sebagai berikut:
a) Dari Segi Sanad
Dalam segi sanad ini perlu dilihat jumlah perawinya iika sebuah dalil diriwayatkan oleh banyak perawi maka dilil tersebut lebih kuat disbanding dengan dalil yang perawinya yang sedikit.
Dan juga seorang mujtahid harus melihat kualitas perawinya,seorang perawi yang hafalanya lebih banyak dan lebih tau tentang apa yang diriwayatkan, harus lebih diprioritaskan dibanding perawi yang sedikit perawinyasedikit hafalan dan pengetahuanya, sebab hafalan dan pengetahuan itu membawa nilai kepada seorang dalam menguasaan periwayatan dan pengetahuan hukum.
Posisi seorang perawi saat meriwayatkan sebuah hadish perlu dipertimbangkan. Seorang perawi hadish yang terkait langsung tentang suatu peristiwa harus lebih didahulukan dari pada yang lain.
Contoh hadish dari Maimunah ra.istri Rasulullah saw. Yang menceritakan bahwa Rasulullah saw.mengawininya dalam keadaan bukan ihram seperti yang tercantum dalam hadish
عن ميمونةَ قالت تزَوخني رسول الله صلى الله عليه وسلم ونَحن حَلاَ لاَنِ----الحديث { رواه ابو داود}
Artinya Dari Maimunah ra.Rasulullah saw. Mengawini saya,sedangkan kami tidak dalam keadaan ihram [HR Abu Dawud]
Hadish tersebut bertentangan dengan riwayat dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah saw mengawini Maimunah dalam keadaan ihram. Seperti yang tercantum dalam hadish
عن ابى عباس رضى الله عنهما ان انبي صلى الله عليه وسلم تَزَوَّخَ ميمونةُ وهو مُحْرِمٌ { رواه ابو داود}
Artinya: dari Ibnu Abbas ra. Sesungguhnya rasulullah saw.mengawini Maimunah sedangkan beliau dalam keadaan ihram. [HR Abu Dawud]
Dalam kasus seperti ini jumhur ulama berpendapat bahwa hadish Maimunah ra. Lebih kuat dibanding hadish Ibnu Abbash ra.sebab Maimunah ra.terkait langsung dengan peristiwa tersebut.
b) Dari Segi Matan
Pentarjih dari segi matan antara lain dapat dilakukan dengan mendahulukan dalil yang khusus dari dallil yang bersifat umum.
Contoh surat at-Taubah 5
"apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."[at-Taubah 5]
Ayat diatas secara umum memerintahkan untuk memerintahkan untuk membunuh orang-orang musyrik pada waktu peperangan. Ayat ini bertentangan dengan hadish riwayat dari Anas Ibnu Malik ra.
عن عنَسِ بن مالك ان انبي صلى الله عليه وسلم قَالَ انْطَلِقُوْا بسم اللهِ وبالله وعلَي مِلَّةِ رسول الله ولا تَقْتُلُوْا شَخْصًا فَنِيًا ولا طِفْلاً ولا صَغِيْرًا ولا امرَاَةً---الحديث{ رواه ابو داود}
Dari Anas Ibnu Malik sesungguhnya Rasulullah saw.berangkatlah kalian berperang dengan menyebut asma Allah dan atas agama Rasullnya. Dan janganlah kamu membunuh orang tua renta, anak kecil dan perempuan....[HR Abu Dawud]
Hadis ini secara khusus melarang membunuh orang tau,anak-anak, dan perempuan dalam perang,sehingga Nampak bertentangan dengan dalil umum ayat 5 surat at-Taubah tersebut.
Sesuai dengan ketentuan tarjih yang harus lebih menguatkan dalil khusus dari pada dalil umum,maka yang harus dikuatkan dalam kasus ini adalah dalil yang khusus yaitu hadis yang melarang membunuh tiga orang tersebut.
Selain ketentuan di atas yang teramasuk pentarjih dari segi matan adalah
- Mendahulukan makna teks hakikat dari pada makna majaz
- Mendahulukan makna teks daripada makna perbuatan
- Mendahulukan teks yang mengandung larangan dari teks yang mengandung perintah
- Mendahulukan makna perintah dari pada makna boleh saja
c) Dari segi hukum
Pentarjih dari segi hukum antara lain bias dilakukan dengan mendahulukan teks yang mengandung hukum menghindarkan hukuman dari teks yang yang mewajibkan hukuman, sebab jika dua kemungkinan itu terjadi, maka hukum tersebut termasuk katagori syubhat sedangkan hukum yang subhat harus dihindari, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Masud ra.
اِدْرَؤُوْا الحُدُوْدَ بِالشَّبْهَاتِ-----الحديث {رواه البجاري}
Artinya:hindarkan hukum-hukum had karena adanya subhat [HR bukhori]
Mendahulukan dalil yang mengandung hukum haram dari dalil yang mengandung hukum mubah. sesuai dengan kaidah usul fiqh
ااِذَاجْتَمَعَ الحَلاَلُ والحرامُ غُلب الحرام
Artinya:Apabila terkumpul antara yang halal dan yang haram, maka dimenangkan yang haram. Misalnya pertentangan hadish yang diriwayatkan Abu Dawud:
عن حِزَامِ بن حكيم عن عَمِّهِ اَنَهُ سال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَا يَحِلُّ لِي مِن امرَاَتِي وهي حَائِضٌ قال لَكَ مَا فَوْقَ الاءِزَارِ{ رواه ابو داود}
Artinya: Dari Hinam Ibn Hakim dari pamannya, sesungguhnya dia bertanya kepada Rasulullah saw.’apa yang boleh aku lakukan terhadap istriku yang sedang haidl ? Rasulullah saw. menjawab ‘segala yang berada di atas kain pinggang’ [HR abu dawud]
عن انس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اِصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ غَيْر النِكَاحَ----الحديث{ رواه ابو داود}
Artinay: Dari Anas ra. Dia berkata Rasulullah saw. Bersabda “perbuatlah segala sesuatu [terhadap istrimu yang sedang haidl] selain bersetubuh…[HR Abu Dawud]
Hadish pertama menunjukkan hukum haram terhadap istri yang sedang haidl untuk berbuat sesuatu diantara pusar dan lutut sedangkan hadish kedua membolehkan asal tidak bersetubuh.
d) Dari Segi Factor Lain Di Luar Nash
Dari segi factor luar nash dapat dilakukan dengan mendahulukan dalil yang mendapat dukungan dalil lain, baik al-Quran sunnah ijma’ maupun qiyas serta dalil yang didukung amal khulafa’ al-rasyidiin
Conto hadish riwayat Abu Dawud
عن سَمُرَةَ قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الجُمْعَةِ فَهُوَ اَفْضَلَ{ رواه ابو داود}
Artinya: Dari Samurah, dia berkata, Rasulullah saw. Bersabda barang siapa yang mandi pada hari juma’t maka dia lebih utama [HR Abu Dawud]

Dengan hadish riwayat Bukhori
عن ابي سعيدٍ الخدْرِيِّ رضي الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال غُسْلُ يَوْمِ الجُمْعَةِ وَاجِبٌ عَلَي كُلِّ مُحْتَلِمٍ{رواه البجاري}
Artinya: Dari Abu Said ra.sesungguhnya Rasulullah saw.bersabda mandi pada hari juam’t adalah wajib bagi tiap orang dewasa [HR Bukhori]
Hadish pertama menunjukkan bahwa mandi hari juma’t adalah sunnah.
Sedangkan hadish yang kedua menunjukkan bahwa mandi hari juma’t adalah wajib.
Dalam hal ini hadish pertama lebih kuat disbanding hadish yang kedua karena sahabat Usman ra. Tidak melakukan mandi pada hari juam’t dan tidak ditegur oleh sahabat Umar ra. Ketika hal ini diketahuinya.
3. Al-Nasahk [النسخ] dengan membatalkan salah satu dalil hukum.
Apabila kedua dalil tidak bisa diselesaikan dengan metode tarjih maka metode yang ditempuh menurut jumhur Ulama adalah dengan metode Nasahk seorang mujtahid meneliti mana diantara dua dalil tersebut yang datangnya lebih akhir. Setelah itu ia tetapkan suatu hukum atas dasar dalil yang datangnya lebih akhir tersebut,dan membatalkan dalil hukum yang datangnya sebelumnya. Pepbatalan ini menurut ulama khallaf adalah untuk merealisasikan kemaslahatan manusia yang kadang menghendaki perubahan seirung dengan adanya perubhan kondisi manusia itu sendiri.
Contohnya mengenai larangan Rasulullah saw.untuk menyimpan daging kurban, karena daging tersebut masih diperlukan oleh orang-orang baduwi yang dating kemadinah pada saat penyembelihan kurban, dan Rasullulah menghendaki agar daging tersebut dibagi-bagikan kepada mereka.selanjutnya , ketika orang-orang baduwi sudah tidak memerlukan lagi, maka Rasulullah saw.membolehkan untuk menyimpan daging-daging tesebut. Sebagaimana sabdah rasulullah saw. Yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ra. dari Aisyah ra.
عَن عَمْرَةَ بِنتِ عبد الرحمن قالت سَمِعْتُ عائشة تَقُولُ قَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم اِنمَّاَ نَهَيْتُكُمْ مِنْ اَجْلِ الدَّافَّةِ الَّتِي دَفَّتْ عَلَيْكُمْ فَكُلُوْا وَتَصَدَّقُوُا وَادَّخِرُوْاؤ { رواه ابو داود}
Artinya: dari Amrah binti Abd al-Rahman, ia berkata saya mendengar Aisyah ra.berkata Rasulullah saw. Bersabda sesungguhnya dulu saya melarang kalian[untuk menyimpan daging kurban] karena adanya orang-orang baduwi yang mendatangi kalian, maka sekarang makanlah, sedakahkan dan simpanlah [HR Abu Dawud]
Contoh diatas adalah nasahk yang secara eksplisit pepbatalannya dapat dilihat dari teks.selain nasahk yang eksplisit tersebut, ada dalil yang nasahk secara implisit, yang tidak dapat ditunjukkan secara jelas dalam teks.
Contohnya mengenai kewajiban wasiat, seperti yang tercantum dalam al-Quran surat al-Baqarah 180

"Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf[112], (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa."[al-Baqarah 180]
Ayat tersebut menurut jumhur ulama dinasahk oleh ayat tentang pembagian waris, seperti tercantum dalam surat an-Nisa.
"Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan" [an-Nisa 11]
4. Suquth al-Muta’aridloin [السقوط المتعارضي] yaitu dengan meninggalkan kedua dalil yang saling bertentangan.
Jika cara ketiga nasahk tidak bisa ditemuh maka kedua mujtahid boleh meninggalkan kedua dalil yang saling bertentangan itu,dengan mengambil suatu permasalahan kepada bara’ah al-ashliyyah [ البَرَاعَة الاصلِيَة] sebagai ulama usul fiqh berpendapat bahwa sebelum seorang mujtahid meninggalkan kedua dalil, ia diberi kesempatan untuk menempuh metode takhyir yaitu dengan memilih salah satu dalil yang ia kehendaki tanpa menganngap adanya pertentangan diantara dalil-dalil yang ada.jika hal itu tidak memungkinkan , maka baru kedua dalil tersebut ditinggalkan, dan mengambil suatu permasalahan kepada bara’ah al-ashliyyah [ البَرَاعَة الاصلِيَة]
Inilah cara-cara yang harus ditempuh menurut jumhur ulama.dan cara melakukan atau penerapannya dilakukan secara berturut.
b. Pendapat Hanafiyyah
Kalangan hanafiyyah berpendapat bahwa dalam menyelesaikan dua dalil yang bertentangan ,
1) [Nasahk] maka terlebih dahulu melihat makna kedua dalil tersebut yang lebih dulu diturunkan. Jika hal itu bisa diketahui maka dalil yang lebih dahulu dinasahk oleh dalil yang turunnya belkangan.
2) [tarjih]Jika ternyata tidak bisa diketahui mana dalil yang lebih dahulu diturunkan mana yang belakangan maka cara yang ditempuh adalah dengan cara mentarjih yaitu mencari dalil mana yang lebih kuat diantaranya.
3) [al-jam’u]Jika cara ini juga tidak bisa dilakukan maka sedapat mungkin mereka mengkompromikan kedua dalil tersebut [al-Jam’u] [الجمع]
4) [al-suquth]Jika cara ini juga tidak bisa dilakukan maka mereka meninggalkan kedua dalil tersebut al-Suquth­ .
Keempat cara inilah yang mereka gunakan yaitu al-nasahk[النسخ ] al-Tarjih[الترجيح] al-jam’u[الجمع] al-sukuth [السقوط] dilaksanakan secara berurutan.


D. Daftar pustaka
Saiban Kasuwi Dr, Prof,Metode Ijtihad Ibnu rusdy kutub minar,Malang 2005
Syafi’I Rahman H,Prof,Dr ilmu Usul Fiqih, pustaka setia, Bandung 1999
Khalaf Abd wahhab, Ilmu Usul Fiqh, darul fikri,1995
Abu Zahra Muhammad ,Prof,Usul Fiqih, pustaka firdaus,pajinten barat 1999

Minggu, 19 Desember 2010

TA'ARRUD ALADILLAH

TA'ARRUD AL-ADILLAH
oleh:
Ahmad Buchori Muslim
PENDAHULUAN
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah yang telah melimpahkan nikmatnya kepada kita semua dan yang telah menurunkan syaria’at bagi kelangsungan hidup manusia di dunia ini. Shalawat beserta salam semoga selalu tercurahkan kepada insan manusia yang paling sempurna, yaitu Nabi Muhammad SAW, dan keluarganya serta para sahabatnya yang telah memperjuangkan berdirinya syari’at Allah di bumi ini.
Di dalam makalah yang singkat ini penulis akan membahas tentang ta’arud al-adillah, di mana ta’arud al-adilah ini seakan-akan terjadi pada dalil nash. tetapi sebenarnya hal itu hanyalah sebatas perbedaan pemahaman seorang mujtahid dalam memahami suatu nash tersebut, karena Allah tidak mungkin menurunkan suatu aturan yang saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya.
Namun pada kesempatan kali ini pemakalah akan membahas tentang garis besarnya ta’arud al-adillah, dengan harapan semoga dengan adanya makalah yang cukup singkat ini bisa membantu saudara dalam memahami hukum Allah. serta bisa bermanfaat untuk proses pembelajaran mata kuliah ushul fiqh ini. dan penulis sadari betul bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis harapkan adanya kritik dan saran yang sifatnya membangun. agar dapat menyempurnakan makalah ini.

PEMBAHASAN
Kata ta’arud , secara etimologi berasal dari lafal عرضyang berarti “ saling berhadapan”. Namun, selain mempunyai arti saling berhadapan kata aradha juga mempunyai arti yang lain diantaranya : dhahara, ashaba, naha nahwahu, dan ada yang mengartikan dengan “pertentangan”. Sedangkan al-adillah ialah bentuk jamak dari asal kata الدليل yang berarti “alasan, argumentasi, dan dalil”.
Muhammad Mansyur Asy-syaikh dalam karyanya yang berjudul Al-Qawa’idul Ushuliyyah, mengemukakan arti ta’arudh dari kata al-urdhu dengan dammah ‘ain dalam arti nahiyah.
كأن الكلام المتعارض يقف بعضه في عرض بعض اي نا حية وجهته فيمنعه من النفوذالِِِى حيث وجه
“kata-kata yang muta’aridh itu sebagian berdiri di arah yang bertentangan dengan yang lain, yakni arah yang satu pada arah yang lain, sehingga menghalangi/menolak berlakunya kearah mana saja.”
Sedangkan pengertian ta’arud al-adillah menurut terminologi, para ulama memiliki berbagai pendapat tentang definisi at-ta’arud al-adillah, diantaranya :
a. Menurut Imam Asy-syaukani, ta’arud al-adillah adalah suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap suatu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan dalil itu. (Asy-syaukani : 242)
b. Menurut Kamal Ibnu Al- Humam dan At-Taftazani, ta’arud al-adillah adalah pertentangan antara dua dalil yang tidak mungkin untuk di kompromikan antara keduanya (At-Taftazi : 103)
c. Ali Hasaballah berpendapat bahwa ta’arud al-adillah adalah terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang di kandung dalam dalil lainnya dan ke dua dalil tersebut berada dalam satu derajat. (Ali hasaballah : 334)
Ada pula yang mendefinisikan ta’arud al-adillah sebagai berikut :
اقتضاء كل واحدمن الدليلين فى وقت واحد حكمافى الواقعة يخا لف ما يقتضيه الدليل الأخرفيها
“Masing-masing dalil menghendaki hukum diwaktu yang sama terhadap satu kejadian yang menyalahi hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lain.”
Adapun penegertian ta’arud al-adillah dalam kajian ilmu ushul fikih adalah :
تقابل الدليليتن على سبيل المما نعة
“Berhadap-hadapan dua dalil dengan cara yang saling bertentangan.”
Secara garis besarnya bahwa ta’arud al-adillah itu ialah “ adanya pertentangan hukum yang dikandung oleh satu dalil dengan hukum yang dikandung oleh dalil yang lainnya, yang kedua dalil tersebut berada dalam satu tingkatan atau sama derajatnya, serta menghendaki hukum di waktu yang sama terhadap suatu kejadian.”
Dari berbagai definisi di atas dapat diketahui bahwa persoalan ta’arud al-adillah dibahas oleh para ulama ketika ada pertentangan antara dua dalil, atau antara satu dalil dengan dalil lainnya secara zhahir pada derajat yang sama.
Wahbah Al-Juahili berpendapat bahwa pertentangan antara dua dalil atau dua hukum yag terkandung dalam dua buah dalil tergantung pada pandangan dan kemampuan para mujtahid dalam memahami, menganalisis, serta sejauhmana kekuatan logika mereka.
Begitu pun Imam Asy-Syatibi berpendapat bahwa pertentangan antara dua dalil adalah pertentangn yang bersifat semu, yang bisa terjadi baik pada dalil yang qati’ maupun pada dalil yang zhanni, selama berada dalam satu tingkatan atau derajat. Apabila pertentangan terjadi pada dua dalil yang kualitasnya berbeda, maka diambil dalil yang lebih kuat kualitasnya.
Dalam ta’arud al-adillah ini ada empat jenis ta’arud, yaitu :
1. Ta’arud antara al-Quran dengan al-Quran
2. Ta’arud antara sunah dengan sunah
3. Ta’arud antara sunah dengan qiyas
4. Ta’arud antara qiyas dengan qiyas
Misalnya ta’arud antara surat al-Baqarah ayat 234 dengan surat al-Thalaq ayat 4 sebagai berikut :

Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari……” (Q.s. Al-Baqarah : 234)

Artinya: “….Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya…..” (Q.s Al- Thalaq : 4)
Ayat pertama menyatakan bahwa wanita-wanita yang ditinggal mati suaminya, ‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Ayat ini berlaku umum bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, baik yang hamil maupun yang tidak hamil. Sedangkan ayat yang kedua menyatakan bahwa wanita-wanita yang hamil, ‘iddahnya sampai melahirkan kandungannya. Ayat ini juga berlaku umum bagi wanita yang dicerai suaminya, baik cerai mati maupun cerai hidup.
Menurut Abd al-Wahhab Khalaf – ahli ushul fikh kontemporer dari mesir – adanya pertentangan antara kedua dalil atau hukum, sebenarnya hanya dalam pandangan akal dan bukan pertentangan yang hakiki, karena tidak mungkin al-Syari’ yang Esa dan Bijaksana, menurunkan aturan yang saling bertentangan dalam waktu yang sama.

SIMPULAN
Ta’arud Al-Adillah itu ialah “ adanya pertentangan hukum yang dikandung oleh satu dalil dengan hukum yang dikandung oleh dalil yang lainnya, yang kedua dalil tersebut berada dalam satu tingkatan atau sama derajatnya, serta menghendaki hukum di waktu yang sama terhadap suatu kejadian.”
Dalam ta’arud al-adillah ini ada empat jenis ta’arud, yaitu :
1. Ta’arud antara al-Quran dengan al-Quran
2. Ta’arud antara sunah dengan sunah
3. Ta’arud antara sunah dengan qiyas
4. Ta’arud antara qiyas dengan qiyas

DAFTAR PUSTAKA
Syafe’i rachmat. Ilmu ushul fiqh untuk IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung : CV Pustaka Setia. 1999
Al-khudbari Biek, Syaikh Muhammad. Ushul fikih. Jakarta : Pustaka Amani. 2007
Jumantoro Totok dan Munir Amin Samsul. Kamus ilmu ushul fikih. Amzah 2005
Saiban Kaswi. Metode ijtihad ibnu Rusyd. Malang : Kutub Minar. 2005
Abu Zahra, Muhammad. Ushul Fiqih. Pejaten barat : Pustaka Firdaus. Cet. Kelima.1999
Al Zuhaili, Wahbah. Ushul Fiqh Al Islami, Beirut : Dar Al Fikr 1986
Khalaf, Abd Al Wahab. Ilmu Ushul Al Fiqh. 1977, Cet ke-11

IJTIHAD HANAFIAH

BAB I

PENDAHULUAN


Islam tidak mendidik pemeluknya untuk taat secara fanatik buta, akan tetapi memberikan kebebasan berfikir agar pemeluknya dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada secara baik dan benar.

Nabi pun mengajarkan para shahabatnya agar mereka dapat memahami hukum-hukum dalam aspek kehidupan sesuai dengan petunjuk-Nya, dimana hal itu hanya bisa di capai dengan jalan ijtihad

Ijtihad tidak terhenti pada masa rosul dan shahabat saja, akan tetapi berangsung terus. Menjelang berakhirnya periode sahabat telah muncul beberapa cendikiawan fiqh dari kalangan tabi'in dan atba' tabi'in.

Kalau masa Nabi sampai masa sahabat biasa di sebut "fase permulaan dan persiapan fiqh islam". Sedangkan masa tabi'in sampai dua atau tiga kurun berikutnya lazim di sebut "fase pembinaan dan pembukuan fiqh islam" yang berlangsung kurang lebih 250 tahun yakni sejak akhir abad pertama sampai separuh pertama abat ke empat hijriah.

Pada fase kedua inilah, islam mencapai puncak kejayaan hampir di semua bidang. Dan pada periode ijtihad dan keemasan hukum islam inilah lahir para mujtahid kenamaan yaitu yang di sebut Al-Aimmat Al-Arba'ah yaitu Imam Hanafi (80-150) Imam Maliki (93-179) dimana kedua mujtahid ini merupakan mujtahid periode tabi'in, sedangkan Al-Syafi'i (150-204) dan Imam Hambali (164-241) dapat di kelompokkan ke dalam periode atba' tabi'in.

Sehubungan dengan hal itu penulis ingin menjelaskan masalah metode ijtihad madzhab Hanafi, di mana hal ini sangat penting untuk mengetahui tata cara ijtihad imam Hanafi sehingga pembaca dapat membedakan metode ijtihad para Imam Madzhab.














BAB II

PEMBAHASAN


1. Pengertian Ijtihad

Ijtihad secara etimologi berasal dari kata جهد yang berarti bersngguh-sungguh menggunakan tenaga dan fikiran. Sedangkan menurut terminologi terdapat beberapa redaksi yang di berikan ulama' terhadap definisi ijtihad ini.

Menurut Ibn Al-Humam, ijtihad adalah

بذل الطاقة من الفقيه فى تحصيل حكم شرعي ظني

Menurut Abu Zahrah:

بذل الفقيه وسعه فى استنباط الاحكام العملية من ادلتها التفصيلية

Sedangkan menurut Syaukani:

بذل الوسع فى نيل حكم شرعي عملي بطريق الاستنباط

Kalau di perhatikan dengan cermat ketiga pengertian ijtihad di atas pada prinsipnya sama, yaitu usaha ahli fiqh menggunakan kemampuannya secara sungguh-sungguh untuk menemukan hukun syari'at yang amaliyah dari dalil-dalilnya. Sedangkan hukum yang di tetapkan dengan ijtihad itu sifatnya dhanni.

Meskipun syaukani tidak menyebutkan kata "faqih" dalam pengertian ijtihad yang di kemukakannya namun pengertiannya sudah tercakup oleh kata "hukmin syar'iyyin amaliyyin" karena tidak mungkin orang yang bukan ahli fiqh dapat menemukan hukum fiqh.

2. Sejarah ringkas Imam Hanafi

Imam Hanafi adalah Abu Hanifah bin An-Nukman bin Tsabit bin Zufi At-Tamimi. Beliau masih mempunyai pertalian kekeluargaan dengan Ali bin Abi Thalib ra. Beliau di lahirkan di kufah pada tahun 80 H / 699 M, pada masa pemerintahan Al-Qalid bin Abd Malik, beliau menghabiskan waktu kecil hingga tumbuh menjadi dewasa di sana. Sejak masih kanak-kanak beliau telah menghafal Al-Quran.

Dalam hal memperdalam pengetahuannya tentang Al-Quran beliau sempat berguru kepada imam Ashin, seorang ulama terkenal pada masa itu. Beliau juga di kenal orang yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu, sebagai gambaran, beliau pernah belajar fiqh kepada ulama yang paling terpandang pada masa itu yakni Humad Abu Sulaiman, tak kurang dari 18 tahun lamanya.
10 tahun sepeninggal gurunya yakni tahun 130 H, Imam pergi meninggalkan kota kufah menuju Mekkah. Beliau tinggal beberapa tahun lamanya di sana dan di tempat itu pula beliau bertemu dengan salah seorang murid Abdullah bin Abbas ra.

Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah di kenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawaddhu' dan sangat teguh memegang ajaran agama. beliau tidak tertarik kepada jabatan-jabatan resmi kenegaraan, bahkan beliau pernah menolak tawaran sebagai hakim (qadhi) yang di tawarkan oleh Al-Manshur. Konon, karena penolakannya itu, beliau kemudian di penjarakan hingga akhir hayatnya.

Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H / 767 M pada usia 70 tahun. Beliau di makamkan di pekuburan khizra. Pada tahun 450 H / 1066 M, didirikanlah sebuah sekolah yang di beri nama Jami' Abu Hanifah.

Sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya tetap tersebar melalui murid-muridnya yang cukup banyak. Diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Abu Yusuf, Abdullah bin Mubarak, waki' bin jarah, Ibn hasan Al-Syaibani dll. Sedangkan di antara kitab-kitabnya adalah: Al-Musu'an (kitab hadits, di kumpulkan oleh muridnya) Al-Makharij (di riwayatkan oleh Abu Yusuf) dan Fiqh Akbar (kitab fiqh yang lengkap).

3. Metode Ijtihad Mazhab Hanafi

Abu Hanifah dalam berijtihad menetapkan suatu hukum berpegang kepada beberapa dalil syara' yaitu Al-Qur'an, Sunnah, Ijma' Sahabat, Qiyas, Istihsan, dan 'Urf dengan perincian sebagai berikut:

a) Al-Qur'an

Imam Abu Hanifah sependapat dengan Jumhur ulama bahwa Al-Qur'an merupakan sumber hukum islam juga beliau sependapat bahwa Al-Qur'an adalah lafadz dan maknanya. Namun, Abu Hanifah berbeda pendapat mengenai terjemah Al-Qur'an ke dalam bahasa selain bahasa arab. Menurut beliau bahwa terjemah tersebut juga termasuk Al-Qur'an.

Diantara dalil yang menunjukkan pendapat Imam Hanafi tersebut adalah dia membolehkan sholat dengan menggunakan bahasa persi walaupun tidak dalam keadaan darurat. Padahal menurut Imam Syafi'i sekalipun orang itu bodoh tidak boleh membaca Al-Qur'an dengan menggunakan bahasa selain arab dalam sholat.

b) Sunnah

Kalau Imam Hanafi tidak menemukan ketentuan hukum suatu masalah dalam Al-Qur'an, dia mencarinya dalam Sunnah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 7;

Para ulama sepakat bahwa hadits shahih itu merupakan sumber hukum, namun mereka berbeda pendapat dalam menilai keshahihan suatu hadits. Menurut pendapat Imam Hanafi di lihat dari segi sanad, hadits itu terbagi dalam mutawatir, masyhur dan ahad dan semua ulama telah menyepakati kehujjahan hadits mutawatir, namun mereka berbeda pendapat dalam menghukumi hadits ahad, yaitu hadits yang di riwayatkan dari Rosulullah SAW. oleh seorang, dua orang atau jama'ah, namun tidak mencapai derajat mutawatir.

Para Imam Madzhab sepakat tentang kebolehan mengamalkan hadits ahad dengan syarat berikut:

Perawi sudah mencapai usia baligh dan berakal
Perawi harus muslim
Perawi haruslah orang yang adil, yakni bertakwa dan menjaga dari perbuatan tercela
Perawi harus betul-betul dhabit terhadap yang di riwayatkannya, dengan mendengar dari Rosulullah, memahami kandungannya, dan benar-benar menghafalnya.

Kemudian Imam Hanafi menambahkan tiga syarat selain syarat di atas, yaitu:

Perbuatan perawi tidak menyalahi riwayatnya itu.
Kandungan hadits bukan hal yang sering terjadi.
Riwayatnya tidak menyalahi qiyas apabila perawinya tidak faqih.
Diantara para perawi yang tidak faqih menurut mereka adalah Abu Hurairah, Salman Al-farisi, dan Anas Ibnu Malik.

c) Ijma' Sahabat

Apabila yang di carinya tidak di temui pada kedua sumber utama, Imam Hanafi berpegang kepada ijma' sahabat yaitu ketika ia mendapati semua sahabat mempunyai pendapat yang sama dalam suatu masalah. Apabila sahabat berbeda pendapat, ia memilih salah satu pendapat yang paling dekat menurutnya kepada Al-Qur'an dan sunnah dan meninggalkan pendapat yang lain.

Menurut bahasa Ijma' adalah kesepakatan terhadap sesuatu. Sedangkan menurut istilah adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ummat Muhammad SAW. setelah beliau wafat terhadap hukum syara'.

d) Qiyas

Apabila beliau tidak menemukan hukum di dalam Qur'an, Hadits, dan Ijma' sahabat, beliau melakukan ijtihad dengan menggunakan qiyas terlebih dahulu. Menurut bahasa Qiyas adalah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya. Menurut istilah adalah menyamakan hukum suatu kasus yang tidak di sebutkan dalam nash dengan sesuatu hukum yang di sebutkan dalam nash karena ada kesamaan dalam illatnya.


e) Istihsan

Bila ada pertimbangan khusus, beliau meniggalkan qiyas dan melakukan istihsan, dimana beliau banyak menetapkan hukum dengan istihsan, namun beliau tidak pernah menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan yang di lakukannya, beliau hanya mengatakan "astahsin" yang artinya saya menganggap baik, namun kemudian para muridnya berusaha mendefisinikan istihsan yang banyak di lakukan oleh Imam mereka.

Secara harfiyah istihsan berarti menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya baik. Sedangkan menurut istilah istihsan menurut fuqaha' madzhab Hanafi mempunyai dua arti, yaitu:

Mengambil qiyas yang samar illatnya dan meninggalkan qiyas yang jelas illatnya. Contoh: sisa minuman burung yang buas hukumnya sama dengan sisa minuman binatang buas yakni najis menurut qiyas karena liur kedua binatang itu keluar dari daging yang najis, sedangkan liur akan bertemu dengan air ketika minum. Akan tetapi binatang buas minum dengan bibirnya sedangkan burung yang buas minum dangan paruhnya maka tentunya liurnya tidak bertemu dengan air sehingga sisa minuman burung yang buas di qiaskan kepada sisa minuman manusia karena daging keduanya tidak boleh di makan sedangkan liur, juga keluar dari keduanya maka karna sisa minuman manusia tidak najis begitu juga sisa minuman burung yang buas. Inilah yang di namakan istihsan.

Mengecualikan masalah yang bersifat parsial (juz'i) dari kaidah umum, karena terdapat dalil yang menuntut demikian. Contohnya: ijarah (sewa-menyewa), secara qiyas tidak sah karena menjual sesuatu yang tidak ada zatnya akan tetapi istihsan membolehkannya karena adanya nash yaitu;
اانه صلى الله عليه وسلم احتجم واعطى الحجام اجره. رواه الشيخان

f) 'Urf

Metode ijtihad yang terakhir yang di pergunakan oleh Imam Hanafi adalah 'urf. Pengertian dari urf adalah suatu ucapan atau perbuatan yang telah di kenal manusia dan telah menjadi tradisi baik untuk di laksanakan maupun di tinggalkan. Di kalangan masyarakat, 'urf ini sering di sebut sebagai adat.

Pengertian di atas, juga sama dengan pengertian menurut istilah ahli syara'. Di antara contoh 'urf yang bersifat perbuatan adalah adanya saling pengertian di antara manusia tentang jual beli tanpa mengucapkan shighat. Sedangkan contoh 'urf yang bersifat ucapan adalah tentang adanya penggunaan lafal al-walad atas anak laki-laki bukan perempuan. Dalil yang menunjukkan adanya 'urf ini adalah sabda nabi Muhammad SAW. Yaitu:
العادة محكمة

Kemudian apabila 'urf ini bertentangan dengan Al-Qur'an atau hadits maka 'urf ini di tolak dan tidak dapat di jadikan dalil karena sudah bertentangan dengan Nash.

BAB III

KESIMPULAN


Dari keterangan di atas, maka dapat di simpulkan bahwa Imam hanafi dalam mencetuskan sebuah hukum menggunakan beberapa metode yaitu menggunakan Al-Qur'an sebagai prioritas utama, kemudian Sunnah, Ijma' sahabat, Qiyas, Istihsan dan 'urf yang beliau pergunakan secara berurutan.


DAFTAR PUSTAKA


Ahmad ibrohim, Ilmu Ushul Fiqh, Qahirah:Darul Anshar, 1839

Zidan, Abd Karim, Al Wajiz fi ushul fiqh, Beirut: muassasah Al Risalah, 1996

Iskandar Usman, Istihsan Dan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 1994

Syafi'i, Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung:CV Pustaka Setia,1999

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Madzhab, Beirut:Dar Al-Jawad, 2000

Saiban, Kasuwi, Metode Ijtihad Ibnu Rusyd, Malang:Kutub Minar, 2005

“Khusu’ dalam pandangan al-qur’an

BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kalamullah yang telah diturunkan kepada rasulallah dengan penuh hikmah dalam setiapa ayat-ayatnya. Al-Qur’an mengandung semua hal yang berkaitan dengan urusan manusia baik untuk di dunia atau pun di akhirat kelak. Baik itu mengenai ibadah , muamallah, atau pun yang lainnya, yang pasti telah ada aturan dan petunjuknya dalam al-Qur’an yang mengatur bagaimana tatacara melaksanakannya dengan menggunakan petunjuk Al-qur’an.
Seperti halnya dalam ibadah, tentunya semua telah ada aturannya dalam Al-Qur’an baik itu secara langsung ataupun tidak langsung. Seperti ibadah salat, mulai dari bersucinya, tatacara pelaksanaannya, hingga nilai kekhusu’annyapun telah ada bahasannya dalam al-qur’an.
Jauh daripada itu, di dsalam makalah ini akan membahas tentang “Khusu’ dalam pandangan al-qur’an. Dan ada beberapa hal yang akan kami ketengahkan dalam makalah ini, diantaranya yaitu apa makna khusu’ menurut al-qur’an? dan bagaimana shalat yang khusu’ menurut al-qur’an?


BAB II
PEMBAHASAN
Kendati kata khusyu’ sudah tidak asing bagi kaum Muslimin, namun pada praktiknya dalam kehidupan sehari-hari masih dirasa perlu ada tambahan penjelasan. Bagaimana sebenarnya khusyu’ menurut Al Qur’an itu.
A. Makna khusyu’ menurut al-Qur’an
- Khusyu’ dengan suara, seperti yang terdapat dalam surat Thâhâ ayat 108;
وَخَشَعَتِ الْأَصْوَاتُ لِلرَّحْمَنِ فَلَا تَسْمَعُ إِلَّا هَمْسًا
“Dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja.” (Q.S. Thâhâ,: 108)
- Khusyu’ dengan qalbu atupun khusyu’ dengan menghadirkan hati ketika mengingat Allah, hal itu terdapat dalam surat Al Hadîd ayat 16;1
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman menundukkan hati mereka untuk mengingat Allah.” (Q.S. Al Hadîd,: 16)
- Khusyu’ dengan menangis dan bersujud, hal ini terdapat dalam surat Al Isrâ’ ayat 109;2
وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا
“Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu`.” (Q.S. Al Isrâ’ : 109)
- Khusyu’ karena takut kepada Allah makna khusyu tersebut terdapat dalam surat Al Hasyr ayat 21;
لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْءَانَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ
“Kalau sekiranya Kami menurunkan Al Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah.” (Q.S. Al Hasyr, 59: 21)
- Khusyu’ karena takut dan harap, terdapat pada surat Al Anbiyâ’ ayat 90;
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
”Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo`a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (Q.S. Al Anbiyâ’, 21: 90)
- Khusyu’ dalam pandangan, terdapat pada surat Al Qalam ayat 43;
خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ
“(dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan.” (Q.S. Al Qalam, 68: 43)
- Khusyu’ dengan wajah, hal ini terdapat pada surat Al Ghâshiyah ayat 2;
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ
“Banyak muka pada hari itu tunduk terhina.” (Q.S. Al Ghâshiyah, 88: 2)
Berdasarkan informasi ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan degan khusyu’ maka didapati pengertian bermacam-macam yang intinya tetap mengacu kepada ‘merendahkan diri’. Bervariasinya pengertian khusyu’ dalam Al-Qur’an ini menunjukkan bahwa sifat khusyu’ tidak hanya berlaku dalam satu konteks ibadah saja seperti shalat akan tetapi bisa meluas kepada berbagai aspek baik yang berhubungan degan ibadah maupun yang berhubungan dengan non ibadah. Dengan demikian sifat khusyu’ adalah sifat yang melekat pada diri seseorang kapan dan dimana saja dan tidak hanya tertentu dalam konteks ibadah saja.3
Khusyu’ dalam ibadah sulit diukur dengan ilmu fiqih sebab khusyu' adalah komunikasi seorang hamba dengan Allah yang tidak selalu melibatkan gerakan lisan atau anggota tubuh lainnya karena yang lebih menentukan kekhusyu’an adalah penghayatan terhadap apa yang diungkapkan dalam hati.
Namun demikian, tidak berarti bahwa khusyu’ itu masalah gaib atau sesuatu yang tidak terukur. Justru, khusyu adalah tingkatan yang mesti kita capai dan kita upayakan, baik dalam shalat, membaca Al Qur’an, berdoa, atau dalam hal yang lainnya.
B. Shalat Yang Khusyu Menurut Al-Qur’an
Kita sering mengasosiakan khusyu' dengan kontemplasi, semedi atau meditasi yang biasa dilakukan dalam praktek ritual agama lain. Kita menjadi lupa untuk menggali bagaimana Al Qur'an menjelaskan mengenai khusyu' itu.4
"Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya". (QS Al Baqarah [2] 45-46).
Dari kedua ayat tersebut, dapat disimpulkan khusyu' bukanlah konsentrasi, tetapi keyakinan sedang menghadap Allah. Kita hanya perlu memiliki sangkaan/keyakinan ketika kita melaksanakan ibadah salat sehingga bisa bersikap untuk menghadapkan diri kita sepenuhnya kepada Allah dengan sadar dan rela mengembalikan seluruh jiwa raga kita kepada Allah.5
Sesungguhnya Allah telah memuji orang-orang yang khusu’, seperti yang disebutkan dalam surat Al-Mu’minuun ayat satu dan dua;
“Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu dalam shalatnya” (Q.s. Al-Mu’minuun : 1-2)
Khusyu’ dalam sembahyang akan diperoleh oleh orang yang menjalankan sembahyang dengan membulatkan jiwanya dan melepaskan diri dari yang selain sembahyang. Ketika itu, yang terdapat dalam hati dan jiwanya hanyalah sembahyang, sehingga sembahyang bisa menjadi penawar untuk mewujudkan ketenangan jiwa.6 Rasulullah bersabda;
“Sesungguhnya salat itu ketetapan hati, ketundukan diri, kerendahan hati, ratapan batin, dan penyesalan diri. Engkau rendahkan dirimu seraya berucap ‘Allahumma…Allahumma….(Ya Allah….. ya Allah….)’.barangsiapa tidak berbuat demikian, salatnya tidak sempurna.”

BABIII
KESIMPULAN
Khusyu’ adalah suatu sikap yang diwajibkan dalam melaksanakan sembahyang , mengingat beberapa penyebab dibawah ini :
1. Untuk bisa memahami (merenungkan) apa yang dibacanya. Memahami apa yang dibacanya tentulah dengan mengetahui maknanya.
2. Untuk mengingat Allah dan menumbuhkan perasaan takut kepada ancaman-ancaman-Nya.
3. Untuk mewujudkan munajat (perhubungan dengan Allah) yang sebenar-benarnya. Orang yang bersenbahyang berarti sedang bermunajat (berbicara) dengan Allah. Berbicara dengan Allah tidak akan dihargai (diperhatikan), apabila keadaan hatinya lalai atau tidak khusyu’. Oleh karenanya, para ulama berkata: “sembahyang yang tidak khusyu’ bagaikan tubuh yang tidak berjiwa.”




DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy. Hasbi. Tafsir Al-Quur’anul Majid An-Nuur. Semarang: Pustaka Rizki Putra, Cet.Kedua. Jilid 3. 2000 M.
Amrullah. Abdulkarim. Abdulmalik. Tafsir al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1982
Imam Al-Ghazali. Keagungan Shalat (terjemahan). Bandung: Remaja Rosdakarya. 2000 M.
Al-Khatib Abu Abdillah. Al-Khusyu’ Fii ShalatI. Perancis: Alkulliyyah Al-Urubiyyah.1421 H./2000 M.

Perbedaan Pendapat Para Ulama Tentang Ketauqifian Tartib Surat Al-Qur’an

Perbedaan Pendapat Para Ulama Tentang Ketauqifian Tartib Surat Al-Qur’an
Oleh:
Ahmad Buchori Muslim
2009.01.0119
I. PENDAHULUAN
Al-Qur`an sebagai pedoman hidup yang pertama bagi umat Islam yang bagi kaum Muslimin adalah kalamu-Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad melalui perantaraan malaikat Jibril selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Kitab suci ini memiliki kekuatan luar biasa yang berada di luar kemampuan apapun. Dimana ayat-ayatnya telah berintraksi dengan budaya dan perkembangan masyarakat yang dijumpainya. Kendati demikian, nilai-nilai yang diamanahkannya dapat diterapkan pada setiap situasi dan kondisi.
Sebagai kitab suci, al-Qur`an sejak pewahyuannya hingga kini, telah mengarungi sejarah panjang selama empat belas abad lebih. Diawali dengan proses penerimaan wahyu al-Qur`an oleh nabi Muhammad saw., kemudian penyampaiannya kepada generasi pertama Islam yang telah menghafalnya dan merekamnya secara tertulis, hingga stabilitas teks dan bacaannya yang mencapai kemajuan yang berarti pada abad ke-3 H dan abad ke- 4 H.
Selain daripada itu di dalam proses penyusunannya, al-Qur’an disusun secara bertahap. Yaitu dari mulai masa nabi Muhammad saw., hingga pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan yang berhasil mengumpulkan Al-Qur’an sehingga menjadi sebuah mushaf yang dikenal dengan sebutan mushaf utsmani yang telah disetujui oleh jumhur ulama sebagai mushaf yang tertib ayat dan suratnya berdasarkan apa yang ada pada masa Rasulullah1. Namun ada pula beberapa ulama yang berpendapat lain tentang susunan surat dalam mushaf Utsmani tersebut. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan mushaf para salaf (para sahabat sebelum al-Qur’an ini dikumpulkan) dalam hal peneriban surat. Diantaranya mereka ada yang mengurutkannya berdasarkan tanggal turunnya, ini sepeti mushaf Ali bin Abi Thalib ra dan seperti mushaf Abdullah bin Mas’ud, serta beberapa mushaf sahabat yang lainya yang juga berbeda dalam hal penyusunan suratnya.
II. Pengertian Tartib Surat al-Qur`an
Sebelum lebih jauh kita membahas tentang “Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Tartib Surat al-Qur`an”, dan mengemukakan beberapa pendapat para ahli dibidangnya, penulis lebih dahulu memaparkan pengertian “Tartib Surat al-Qur`an” itu sendiri, untuk membantu kita dalam memahami isi kandungan al-Qur`an atau orang lain yang membaca tulisan ini, maka lebih baik jika kita uraikan arti dari tartib surat al-Qur`an.
“Tartib surat al-Qur`an” merupakan istilah dari bahasa Arab yang terdiri dari tiga kata yaitu; kata “Tartib”, “Surat” dan kata “Qur`an”. Kata Tartib dalam kamus Kontemporer Arab-Indonesia, merupakan isim masdar dari kata ra-ta-ba yang artinya urutan-urutan atau peraturan.2
Sedangkan kata “Surat” mempunyai pendifinisian-pendifinisian dari berbagai ahli diantaranya:
Pengertian “surat” Menurut Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi dalam bukunya Pengantar Uluml Qur`an adalah: “Sekelompok (sekumpulan) ayat-ayat al-Qur`an yang berdiri sendiri, yang mempunyai permulaan dan penghabisan”.3 Sedangkan menurut Manna al-Qattan, pengertian “surat” adalah: “sejumlah ayat Qur`an yang mempunyai permulaan dan kesudahan.”4
Sedangkan kata “Qur`an” mempunyai definisi-definisi yang banyak sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ulama dari berbagai keahlian dalam bidang Bahasa, Ilmu Kalam, Usul Fiqh dan sebagainya. Namun definisi-definisi tersebut tentu berbeda antara satu dengan yang lain, karena Stressing (penekanan-Nya) berbeda-beda disebabkan perbedaan keahlian mereka.
Secara etimologi (bahasa) kata “al-Qur`an”, ada beberapa pendapat ulama tentang itu yang diantaranya:
2.1 Menurut as-Syafi`I;
Kata al-Qur`an itu ditulis dan dibaca tanpa hamzah (al-Quran, bukan al-Qur`an) dan tidak diambil dari kata lain. Ia adalah nama yang khusus digunakan untuk kitab suci yang diberikan kepada Nabi Muhammad, sebagaimana nama Injil dan Taurat yang digunakan khusus untuk kitab-kitab Allah yang diberikan masing-masing kepada Nabi Isa dan Nabi Musa.5
2.2 Menurut al-Farra`;
Lafadz al-Qur`an adalah pecahan (musytaq) dari kata qarain jamak qarinah, yang artinya kaitan, karena ayat-ayat al-Qur’an satu sama lain berkaitan. Karena itu jelaslah bahwa huruf “nun” pada akhir lafadz al-Qur’an adalah huruf asli, bukan huruf tambahan.6
2.3 Menurut al-Asy`ari;
Lafadz al-Qur`an adalah musytaq (pecahan) dari akar kata qarn. Ia mengemukakan contoh kalimat qarnusy-syai bisysyai (menggabungkan sesuatu dengan sesuatu). Jadi kata qarn dalam hal itu bermakna : gabungan atau kaitan, kerena surah-surah dan ayat-ayatnya saling bergabung dan saling berkaitan.7
2.4 Menurut al-Zajjaj;
Lafadz al-Qur`an itu berhamzah, berwazan Fu`lan, dan diambil dari al-Qaru`, yang artinya penghimpunan, hal ini disebabkan al-Qur`an merupakan kitab suci yang menghimpun intisari ajaran-ajaran dari kitab-kitab suci sebelumnya (Perhatikan Q.s. al-Bayyinah: 2 – 3)
          
“(yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Quran), di dalamnya terdapat (isi) Kitab-Kitab yang lurus. (Yang dimaksud dengan isi Kitab-Kitab yang Lurus ialah isi Kitab-Kitab yang diturunkan kepada nabi-nabi seperti Taurat, Zabur, dan Injil yang murni)”8
2.5 Menurut al-Lihyani;
Lafadz al-Qur`an itu berhamzah, bentuknya masdar dan diambil dari kata –Qa–ro-a (قَرَأَ), yang artinya membaca hanya saja lafal al-Qur`an ini menurut beliau adalah masdar bi ma`na ismil maf`ul, jadi Qur`an artinya maqru` (dibaca)9
2.6 Menurut Dr. Subhi al-Salih;
Bahwa pendapat yang paling kuat adalah lafadz al-Qur`an itu masdar dan sinonim (muradif) dengan lafal qira`ah sebagaimana tersebut dalam al-Qiyamah ayat 17 – 18.
         
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.”
Dan ada beberapa Orientalis, antara lain G.Bergstaesser, beranggapan bahwa bahasa Armia, Abessynia dan Persia tidak sedikit pengaruhnya terhadap perbendaharaan bahasa Arab, karena bahasa-bahasa tersebut adalah bahasa-bahasa dari bangsa-bangsa yang bertetangga dengan bangsa Arab dan mereka adalah bangsa-bangsa yang telah maju kebudayaannya beberapa abad sebelum Islam lahir. Demikian pula Orientalis Krenkow dan Blachere berpendapat bahwa bangsa Arab telah menggunakan beberapa kata yang berasal dari bahasa Armia, Suryani dan Hebrow. yang demikian pula di dalam al-Qur`an, terdapat kata-kata yang berasal dari bahasa asing tersebut. Dan diantara kata-kata asing tersebut menurut Blachere adalah كِتَابٌ : فُرْقَانٌ : قَيُّوْمٌ : dan juga lafal  قَرَاءَ berasal dari bahasa Armia yang mempunyai arti membaca. Sedang lafal قَرَأَ     semula digunakan oleh bangsa Arab untuk arti binatang yang mandul (tidak bisa bunting dan tidak bisa beranak).
Dr. Subhi al-Salih mendefinisikanya dan dipandang sebagai definisi yang dapat diterima para ulama, terutama ahli bahasa, ahli Fiqh dan ahli Ushul Fiqh yaitu:
القُرْآنُ هُوَ الكِتَابُ المُعْجِزُ المُنَزَّلُ عَلَى النَّبِي صلى الله عليه وسلم، المَكْتُوْبُ فىِ المَصَاحِفِ المَنْقُوْلُ عَلَيْهِ بِالتَّوَاتُرِ المَتَعَبَّدُ بِتِلاَوَتِهِ
“al-Qur`an adalah firman Allah yang bersifat (berfungsi) mukjizat (sebagai bukti kebenaran atas kenabian Muhammad) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang tertulis di dalam mushaf-mushaf. Yang dinukil (diriwayatkan) dengan jalan mutawatir dan yang membaca dipandang beribadah”.10
Dari berbagai definisi tentang al-Qur`an yang telah banyak didefinisikan menurut para ahli dibidangnya, maka paling tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril dengan cara mutawattir dan menjadi ibadah bagi yang membacanya.
Dari berbagai pengertian yang telah dijelaskan diatas, dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa yang dimaksud dari “Tartib Surat al-Qur`an” adalah tata letak surah-persurat yang tersusun di dalam al-Qur`an.
III. Perbedaan Pendapat Para Ulama Tentang Ketauqifian Tartib Surat Mushaf Ustmani
Al-Qur’an di zaman Nabi saw sudah ditulis secara keseluruhan, hanya saja belum terkumpul dalam satu buku dan surat-suratnya belum teratur seperti sekarang. Az-Zarkasyi dalam al-Burhan, dan Abu Ja’far bin Zubair dalam al-Munasabat, disitu ia berkata; “Tentang penertiban ayat-ayat dalam setiap surat al-Qur’an adalah tauqifi dari Rasulullah saw, ini adalah suatu perkara yang tidak lagi diperselisihkan oleh seluruh kaum muslimin.”11 Terkait dengan hal ini rosulullah bersabda setiap ada wahyu yang turun kepadanya “Letakkan ayat ini pada tempat ini.”
Adapun penertiban surat-suratnya , apakah ia juga tauqifi atau hanya sekedar ijtihad para sahabat saja? Disini ada pebedaan pendapat dikalangan ulama tentang susunan surat yang terdapat dalam mushaf Ustmani, apakah memang penyusunan surat di dalam mushaf Utsmani tersebut berdasarkan tauqifi atau hasil dari ijtihad sahabat. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan tartib surat antara mushaf Utsmani dan mushaf para salaf.
3.1 Ada yang berpendapat bahwa tertib surat itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana diberitahukan malaikat Jibril kepadanya atas perintah Allah. Dengan demikan, Al-Qur’an pada masa Nabi telah tersusun surat-suratnya secara tertib sebagaimana tertib ayat-ayatnya, seperti yang ada ditangan kita sekarang ini, yaitu tertib mushaf Utsmani yang tidak ada seorang sahabatpun menentangnya. Ini menunjukkan telah terjadi ijma’ atas susunan surat yang ada, tanpa suatu perselisihan apapun.12
Kelompok ini berdalil bahwa Rasulullah telah membaca secara tertib di dalam salatnya. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, bahwa Nabi pernah membaca beberapa surat mufashshal (surat-surat pendek) dalam satu rakaat . Al-Bukhori meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud katanya, ”surat Bani Israil, Al-Kahfi, Maryam, Thahaa, dan Al-Ambiya’ termasuk yang diturnkan di Makkah dan yang pertama-tama aku pelajari” kemudian ia menyebutkan surat-surat itu secara berurutan sebagaimana tertib susunan seperti sekarang ini.
Juga Ibnu Wahhab meriwayatkan dari Sulaiman bin Bilal, ia berkata; aku mendengar Rabiah ditanya orang, “mengapa surat Al-Baqarah dan Al-Imran didahulukan, padahal sebelum surat itu diturunkan sudah ada delapan puluh sekian surat Makiyah, sedang keduanya diturunkan di Madinah?” ia menjawab, “kedua surat itu memang didahulukan dan al-Qur’an dikumpulkan menurut pengetahuan dari orang yang mengumpulkannya,” kemudian katanya, “ini adalah sesuatu yang mesti terjadi dan tidak perlu dipertanyakan.”
Ibnu Hashshar mengatakan, “tertib surat dan letak ayat-ayat pada tempatnya masing-masing itu berdasarkan wahyu.” Rasulallah mengatakan, “letakkanlah ayat ini ditempat ini.” Hal tersebut telah diperkuat pula oleh riwayat yang mutawattir dengan tertib seperti ini, dari bacaan Rasulullah dan ijma’ para sahabat untuk meletakkan dan menyusunnya seperti ini dalam mushaf.”
III.2 Kelomok kedua berpendapat bahwa tertib surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, sebab ternyata ada perbedaan tertib surat di dalam mushaf-mushaf mereka.13 Misalnya mushaf Aly disusun menurut tartib nuzulnya, yakni dimulai dengan iqra’, kemudian Al-Mudatstsir, lalu Nun, Al-Qalam, kemudian Al-Muzammil, dan seterusnya hingga akhir surat Makiyah dan Madaniyah. Adapun dalam mushaf Ibnu Mas’ud, yang pertama ditulis adalah surat Al-Baqarah, kemudian An-Nisaa, lalu disusul Al-Imran. Sedangkan dalam mushaf Ubay, yang pertama ditulis adalah Al-Fatihah, Al Baqarah, An-Nisaa, lalu Al-Imran.
Ibnu Faris berkata: Pengumpulan al-Qur’an ini terdiri dari dua macam. Yang pertama: yaitu penyusunan al-Qur’an, seperti mendahulukan as-sab’u ath-thiwal, kemudian meletakan setelah as-sab’u ath-thiwal ini ayat-ayat yang dari al-mi in, dan seperti inilah yang hanya dikerjakan oleh para sahabat. Sedangkan pengumpulan yang kedua adalah: Pengumpulan ayat-ayat dalam surat. Inilah yang tauqifi, dimana Nabi sendiri yang langsung mengurusnya, seperti yang diperintakan malaikat Jibril kepada beliau.14
III.3 Kelompok ketiga berpendapat, sebagian surat itu tertibnya bersifat tauqifi dan sebagian lainnya bersifat ijtihad para sahabat. Hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian surat pada masa nabi. Misalnya, keterangan yang menunjukkan tertib as-sab’u ath-thiwal, al-hawamin dan almufashshal pada masa hidup Nabi.15
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda;
اقْرءُواالزَّهْرَا وَيْنِ الْبَقَرَةَ وَآلَ عِمْرَانَ
“Bacalah olehmu dua surat yang bercahaya; Al-Baqarah dan Ali Imran.”
Juga diriwayatkan, “jika hendak pergi ketempat tidur, Rasulullah mengumpulkan kedua telapak tangannya kemudian meniupnya lalu membaca ‘Qul Huwallahu ahad dan mu’awwidzatain’.
Menurut Ibnu Hajar, “Tertib sebagian surat-surat atau bahkan sebagian besarnya tidak dapat ditolak, bersifat tauqifi.16 Untuk mendukung pendapatnya ini, ia mengemukakan hadis Hudzaifah Ats-Tsaqafi yang mengatakan, “Rasulullah berkata kepada kami; ‘telah datang kepadaku waktu untuk hizb (bagian) dari Al-Qur’an, maka aku tidak ingin keluar sebelum selesai.’ Lalu kami tanyakan kepada sahabat-sahabat Rasulullah; “bagaimana kalian membuat pembagian Al-Qur’an?” Mereka menjawab; Kami membaginya menjadi tiga surat, lima surat, tujuh surat, sembilan surat, sebelas surat, tiga belas surat, dan bagian al-mufashshal dari Qaf sampai kami khatam.”
Kata Ibnu Hajar lebih lanjut, “hal ini menunjukkan, bahwa tertib surat-surat seperti terdapat dalam mushaf sekarang adalah tertib surat pada masa Rasulullah.” Dan katanya, “Namun mungkin juga yang telah tertib pada waktu itu hanyalah bagian mufashshal, bukan yang lain”.
Apabila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat ketiga, yang menyatakan tertib surat-surat itu sebagian bersifat tauqifi dan sebagian berdasarkan ijtihad (yaitu surat Al-Anfal dan Bara’ah), Al-Zarqani menegaskan, bahwa pendapat ketigalah yang paling tepat, Sebab pendapat pertama ada kelemahannya. Karena ternyata ada hadist dari Ibnu Abbas yang memang menunjukkan adanya ijtihad pada tertib sebagian surat-surat al-Qur’an (Utsman berijtihad di dalam melakukan tertib surat Al-Anfal dan Bara’ah).17 Sedangkan pendapat kedua juga ada kelemahannya. Sebab ternyata ada hadits-hadits yang menunjukkan adanya tauqifi pada tertib sebagian surat-surat al-Qur’an.
IV. Hikmah Dari Penertiban Surat Pada Al-Qur’an
Diantara hikmah dan faidah al-Qur’an dibagi kedalam surat-surat, yaitu:
4.1 untuk memudahkan umat Islam mempelajari, memahami dan menghafalkan al-Qur’an.
4.2 untuk menunjukkan topik pembicaraan, sebab setiap surat telah diberi nama dengan nama yang relevan dengan isi kandungan surat yang bersangkutan; misalnya surat al-Baqarah, al-Jin, Yusuf dan sebagainya.
4.3 untuk menunjukkan, bahwa mukjizat al-Qur’an itu tidak terletak pada surat-surat yang panjang saja, tetapi surat-suratnya yang pendek juga bisa menjadi mukjizat.
V. Penutup
Dari pembahasan tersebut diatas penulis dapat menyimpulkan beberapa kesimpulan berikut ini:
5.1 Tartib surat al-Qur`an adalah tata letak surat-persurat yang ada dalam al-Qur`an
5.2 pendapat para ulama yang paling tenteram dihati ialah yang berpendapat bahwa semua surat dalam al-Qur’an ditertibkan dan diatur secara tauqifi kecuali surat al-Anfal dan Bara’ah yang merupaka hasil ijtihad.
5.3 Adapun hikmah daripada tartib al-Qur`an adalah diantaranya memudahkan umat Islam mempelajari, memahami dan menghafalkan al-Qur’an. Namun, pastinya lebih banyak lagi hikmah-hikmah yang terkandung dalam al-Qur’an tergantung dari sudut mana kita mengkajinya.
Daftar Pustaka
Al-Qattan. Manna. Mabahits Fi `Ulum al-Qur`an. (Cet. II. Qairo. Maktabah Wahdah: 1973)
Zuhdi. Masjfuk. Pengantar Ulumul Qur`an, (Cet. V. Surabaya. CV. Karya Abditama;1997)
As-Shalih, Subhi, Mabahits Fi Ulumil Qur’an, (Beirut. Darul-Ilm Lil-Malayin: 1985)
Marzuki Ammar. Farikh. Samudra Ulumul Qur’a. (Surabaya. PT Bina Ilmu Offset: 2006)

Ali. Atabik dan Zuhdi Muhdlor. Ahmad. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. (Yogyakarta. Multi Karya Gafika. 1996)

Jumat, 17 Desember 2010

Pengertian Al-Qur'an

BAB I
PENDAHULUAN

Pada zaman kita sekarang ini sukar sekali rasanya bagi seorang masalah-masalah Islam dan al-Qur’an untuk bersandarr hanya pada kitab-kitab klasik dalam upayanya dalam menafsirkan suatu ayat yang diinginkan, atau menganalisa segi sastra pada setiap bagian al-Qur’an. Kita dapat membayangkan betapa hal-hal kontradiktif merupakan sumber penyakit dan pangkal musibah bagi umat Islam. Karenanya kita perlu memilih penafsiran suatu ayat,, yang dapat dipandang memuaskan, tanpa memastikan bahwa al-Qur’an itu adalah benar seperti yang dikehendaki Allah Swt.
` Akhirnya kami serahkan kepada para pembaca dengan harapan semoga Allah Swt menambah kegairahan kita untuk membaca kitab suci-Nya seraya mengamalkan semua hukum dan ajarannya. Mudah-mudahan sejarah akan berulang kembali, dan dengan Kitabullah al-Qur’an kita akan kembali menjadi umat terbaik yang ditampilkan Allah ditengah kehidupan manusia.










BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian al-Qur’an
1. Secara Etimologi
Secara etimologi kata al-Qur’an ialah kata masdar dari asal kata qara’a yang artinya “bacaan”. Namun dalam hal ini para ulama berbeda pendapat mengenai lafadz al-Qur’an. Sebagian berpendapat bahwa lafadz al-Qur’an itu tidak dibubuhi huruf hamzah (dibaca al-Quran), sedangkan yang lain mengatakan bahwa lafadz al-Qur’an itu dibubuhi huruf hamzah (dibaca al-Qur’an).
Berikut berbagai pendapat mengenai asal kata lafadz al-Qur’an :
a. Al-Syafi’I, salah seorang imam mazhab yang terkenal (150-204 H.) berpendapat, bahwa kata alqur’an itu ditulis dan dibaca tanpa hamzah (al-Quran, bukan al-Qur’an) dan tidak diambil dari kata lain. Ia adalah nama yang khusus digunakan untuk kitab suci yang diberikan kepada Nabi Muhammad, sebagaimana nama Injil dan taurat yang digunakan khusus untuk kitab-kitab Allah yang diberikan masing-masing kepada Nabi Isa dan Nabi Musa.
b. Al-farra’ seorang ahli bahasa yang terkenal, pengarang kitab ma’anil Qur’an tidak menggunakan hamzah dan diambil dari kata qarain jamak qarinah, yang artinya indikator (petunjuk). Hal ini disebabkan sebagian ayat-ayat al-Qur’an itu serupa satu dengan yang lain, maka seolah-olah sebagian ayat-ayatnya itu merupakan indikator dari yang dimaksud oleh ayat lain yang serupa itu.
c. Al-Asy’ari seorang ahli Ilmu Kalam, pemuka aliran sunni (wafat 324 H.) berpendapat, bahwa lafal al-Qur’an tidak menggunakan hamzah dan diambil dari kata قًََرَن, yang artinya menggabungkan. Hal ini disebabkan surat-surat dan ayat-ayat al-Qur’an itu dihimpun dan digabungkan dalam satu mushaf.
d. Al-Zajjaj, pengarang kitab Ma’anil Qur’an (wafat 311 H.) berpendapat, bahwa lafal al-Qur’an itu berhamzah, berwazan Fu’lan, dan diambil dari kata القَرَءُ, yang artinya penghimpunan. Hal ini disebabkan al-Qur’an merupakan kitab suci yang menghimpun intisari ajaran-ajaran dari kitab-kitab suci sebelumnya (perhatikan S. Al-Bayyinah: 2-3).
e. Al-Lihyani, seorang ahli bahasa (wafat 215 H.) berpendapat, bahwa lafal al-Qur’an itu berhamzah, bentuk masdar dan diambil dari kata قَرَاءَ, yang artinya membaca. Hanya saja lafal al-Qur’an ini menurut Al-Lihyani adalah masdar bi ma’na isim maf’ul. Jadi, Qur’an artinya maqru’ (dibaca).
f. Dr. Subhi al-Salih, pengarang kitab Mabahits fi Ulumil Qur’an mengemukakan, bahwa pendapat yang paling kuat adalah lafal al-Qur’an itu masdar dan sinonim (muradif) dengan lafal qira’ah, sebagaimana yang tersebut dalam surat al-Qiyamah ayat 17-18 :
       
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.”
g. Beberapa orientalis, antara lain G. Bergstaesser berpendapat, bahwa bahasa Armia, Abessynia dan Persia tidak sedikit pengaruhnya terhadap perbendaharaan bahasa Arab, karena bahasa-bahasa tersebut adalah bahasa-bahasa dari bangsa-bangsa yang bertentangga dengan bangsa Arab dan mereka adalah bangsa-bangsa yang telah maju kebudayaannya beberapa abad sebelum Islam lahir.
Demikian pula Krenkow (dalam Encyclopedia de ‘Islam, art. Kitab II, p 1104) dan Blachere (dalam bukunya, Le Coran, Introduction, p. 5) bahwa bangsa Arab telah menggunakan beberapa kata yang berasal dari bahasa Armia, Suryani dan Hedbrow. Demikian pula didalam al-Qur’an, terdapat kata-kata yang berasal dari bahasa asing tersebut. Diantara kata-kata asing tersebut menurut Blachere adalah :
كِتَابٌ , فُرْقاَنٌ ,قَيُّوْم ,ٌ dan juga lafal قَرَاءَ, berasal dari bahasa armia yang mempunyai arti membaca. Sedang lafal قَرَاءَ, semula di gunakan oleh bangsa Arab untuk arti binatang yang mandul (tidak bisa bunting dan tidak bisa beranak).
2. Secara Terminologi
Beberapa definisi tentang al-Qur’an telah dikemukakan oleh beberapa ulama dari berbagai keahlian dalam bidang bahasa, Ilmu Kalam, Ushul Fiqh dan sebagainya. Definisi-definisi itu sudah pasti berbeda antara satu dengan yang lainnya, karena Stressing (penekanan)nya berbeda-beda, disebabkan perbedaan keahlian mereka.
Sehubungan dengan itu, Dr. Subhi al-Salih merumuskan definisi al-Qur’an yang dipandang sebagai definisi yang dapat diterima para ulama, terutama ahli bahasa, ahli Fiqh, dan ahli Ushul Fiqh.
َاْلقُرْأَنُ هُوَالْكِتاَبُ اْلمُعْجِزُاْلمُنَزَّلُ عَلىَ النًّبِىِّ ص.م.اْلمَكْتُوْبُ فِى اْلمَصَاحِفِ اْلمَنْقُوْلُ عَلَيْهِ بِالتَّوَاتُرِ اْلمُتَعَبَّدُ بِتِلاَوَتِهِ.
“Al-Qur’an adalah firman Allah yang bersifat (berfungsi) mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang tertulis didalam mushaf-mushaf, yang dinukil (diriwayatkan) dengan jalan mutawattir, dan yang membacanya di pandang ibadah.”
Selain definisi yang dikemukakan oleh Dr. Subhi al-Salih, ada pula yang mendefinisikan bahwa “Al-quran adalah kalamullah (wahyu) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai mukjizat melalui perantara malaikat jibril dengan secara mutawattir dan bernilai ibadah bagi yang membacanya.”
B. Hal-hal yang Terkait Dengan Al-Qur’an
1. Wahyu
Menurut bahasa, ialah memberitahukan sesuatu dengan cara samar dan cepat. Sedangkan menurut istilah, wahyu adalah pemberitahuan Tuhan kepada Nabi-Nya tentang hukum-hukum Tuhan, berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang samar, tetapi meyakinkan kepada Nabi/Rosul yang bersangkutan, bahwa apa yang diterimanya adalah benar-benar dari Allah sendiri.
Penjelasan secara samar dan sekilas tentang penyebutan “Wahyu” itu tidak jauh maknanya dari pengertian bahasa yang ada pada akar kata wahyu dan iihaa (mewahyukan). Diantara maknanya ialah ilham fitriyah (naluriyah) bagi manusia.
“Dan kami wahyukan (ilhamkan) kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, Karena Sesungguhnya kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari para rasul”.(al-Qashash:7)
Ada juga makna wahyu yang berupa isyarat dalam bentuk lambang dan petunjuk, yaitu sebagaimana firman Allah mengenai Nabi Zakariya AS.:
“Maka ia (Nabi Zakariya) keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu mewahyukan (yakni memberi isyarat) kepada mereka: hendaklah kalian bertasbih pagi dan sore”. (Maryam, 11).
Kata “wahyu” juga digunakan oleh penyair, misalnya:
Ia kupandang sekilas sehingga aku terpesona beberapa detik memikirkan keindahan sifatnya. Kepadanya mataku mewahyukan (mengisyaratkan) kecintaanku sehingga wahya ( isyarat) itu membekas pada pipinya.
Bisikan syetan dan rayuannya mengajak manusia berbuat kejahatan, pun oleh Al-Qur’an dijelaskan dengan menggunakan lafadz “wahyu”
“Dan Demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka saling mewahyukan (membisikkan) kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (al-An’am:112)
Lafadz wahyu juga digunakan untuk menyebut firman Allah yang berupa perintah pada para malaikat supaya mereka melaksanakannya seketika itu juga.
“(ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, Maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang Telah beriman". (al-Anfaal:12).
Allah telah menerangkan dalam al-Qur’an tentang cara pemberitahuan yang dikehendaki Tuhan kepada Nabi-Nya.
                      
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”
Berdasarkan ayat tersebut, maka wahyu itu ada tiga macam :
1) Pemberitahuan Tuhan dengan cara ilham tanpa perantaraan.
2) Mendengar firman Allah dibalik tabir.
3) Penyampaian wahyu Tuhan dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. yang didalam al-Qur’an di sebut “al-Ruhul Amin”. Ini ada dua macam :
a) Nabi dapat melihat kehadiran Malaikat Jibril a.s., dan dalam hal ini ada dua macam pula, yakni
Pertama : Malaikat Jibril a.s. dilihat dalam bentuknya yang asli, tetapi ini jarang sekali terjadi.
Kedua : Malaikat Jibril a.s. menjelma sebagai manusia. Dia juga pernah menjelma sebagi seorang laki-laki bernama Dahyah bin Khalifah.
b) Nabi tak melihat Malaikat Jibril ketika menerima wahyu, tetapi beliau mendengar pada waktu kedatangan malaikat itu suaranya seperti suara lebah atau gemerincing bel.
2. Perbedaan al-Qur’an dengan Hadits dan Hadits Qudsi
wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad itu ada dua macam, al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi.
Adapun perbedaan antara ketiganya adalah sebagai berikut :
a). Perbedaan antara al-Qur’an dengan Hadits
1)Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa dan maknanya dariAllah
1)Hadits diturunkan dengan maknanya saja dari Allah, sedangkan lafdznya dari Nabi.
2)Al-Qur’an tidak boleh diriwayatkan dengan maknanya saja, sebab dapat mengurangi atau menghilangkan mukjizat al-Qur’an sendiri.
2)Hadits boleh diriwayatkan dengan maksudnya saja. Sebab yang terpenting dalam hadits qudsi adalah penyampaian maksudnya.
3)Al-Qur’an, baik lafadz maupun maknanya merupakan mukjizat.
3)Hadits bukan merupakan mukjizat.
4)Al-Qur’an diperintahkan untuk dibaca, baik pada waktu sholat atau diluar sholat sebagai ibadah, baik orang yang membacanya itu mengerti maksudnya atau tidak.
4) Hadits tidak diperintahkan untuk dibaca sebagai ibadah. Yang terpenting dalam hadits adalah untuk dipahami, dihayati, dan diamalkan.
5)Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi dalam keadaan sadar.
5)Hadits diturunkan dengan bermacam-macam cara, sebagaimana diterangkan dalam surat al-Syura: 51
b). Perbedaan antara al-Qur’an dengan Hadits Qudsi
Dalam hal ini ada dua pendapat:
a. Pendapat pertama mengatakan, bahwa hadits qudsi termasuk firman Allah, bukan sabda Nabi, tetapi Nabi hanya menceritakan saja, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1). Hadits qudsi selalu disandarkan kepada Allah.
2). Hadits qudsi selalu memuat dlomir mutakalim yaitu “Anaa”, “Nahnu” dan dalam hal ini yang dimaksudkan adalah Allah sendiri.
3). Bahwa sanad hadits qudsi itu tidak hanya berakhir pada Nabi tetapi sampai kepada Allah melalui Nabi; Sedangkan sanad hadits Nabawi (hadits biasa) hanya sampai kepada Nabi.
Menurut pendapat ini, meskipun hadits qudsi itu termasuk firman Allah, tetapi tidak mempunyai status yang sama dengan Al-Qur’an, kerena Al-Qur’an diterima secara mutawattir, sedang hadits qudsi seperti keadaan hadits-hadits nabawi lain, pada umumnya diterima secara Ahad (perorangan).
b. Pendapat kedua menyatakan, bahwa hadits qudsi itu lafadznya dari Nabi sendiri, seperti hadits-hadits Nabi lainnya.
Yang berpendapat demikian, antara lain Abu al-Baqa’ dan al-Thibi, Abu al-Baqa’ berkata: “ Al-Qur’an adalah yang maknanya dan lafadznya dari Allah dengan wahyu yang jelas. Adapun hadits qudsi adalah yang lafadznya dari Nabi, sedangkan maknanya dari Allah dengan jalan ilham atau impian.”
Sedangkan menurut al-Thibi: “ Al-Qur’an adalah lafadz yang diturunkan oleh malaikat Jibril dari Allah kepada Nabi. Adapun hadits qudsi adalah sesuatu yang dikehendaki oleh Allah untuk disampaikan dengan jalan melalui ilham atau impian, kemudian Nabi memberitahukan kepada umatnya dengan bahasa sendiri. Sedangkan hadits-hadits lain tidak di sandarkan kepada Allah dan tidak diriwayatkan dari Allah.”



3. I’jazul Qur’an
Mukjizat, menurut imam As-Suyuti dalam bukunya al- Itqan Fi Ulumil Qur’an adalah sesuatu di luar kebiasaan yang disertai dengan adanya tantangan. Sedangkan menurut Dr. Muhammad Quraish Shihab, sesuatu dinamakan mukjizat apabila memenuhi empat unsyur, yaitu :
Suatu hal yang ada diluar kebiasaan.
Nampak pada diri seorang Nabi.
Disertai dengan adanya tantangan.
Sesuatu yang tidak sanggup ditantang orang.
Mukjizat al-Qur’an dapat dilihat dari dua segi :
1). Dari segi bahasa, ulama sepakat bahwa al-Qur’an memiliki uslub (gaya bahasa) yang tinggi, fasahah (ungkapan kata yang jelas), dan balaghah (kepasihan lidah) yang dapat mempengaruhi jiwa pembacanya dan yang mendengarkannya yang mempunyai rasa bahasa arab yang tinggi.
Selain dari pada itu, al-Qur’an, dimana orang arab lumpuh untuk menandinginya itu, sebenarnya tidak keluar dari aturan-aturan kalam mereka, baik lafazd, huruf maupun redaksinya. Tetapi al-Qur’an memiliki jalinan huruf-huruf yang serasi, ungkapannya indah, redaksinya simpatik, ayat-ayatnya teratur, serta memperhatikan situasi dan kondisi dalam berbagai macam bayannya, baik dalam jumlah ismiyah dan fi’liyahnya, dalam nafi’ dan isbatnya, dalam dzikr dan hadzfnya dalam tankir dan ta’rifnya, dalam taqdim dan takhirnya, dalam ithnab dan ijaznya, dalam umum dan khususnya, dalam mantuq dan mafhumnya, dalam nash dan fahwanya maupun dalam hal lainnya.


2). Dari segi kandungan isi, mukjizat al-Qur’an dapat dilihat dari tiga aspek :
a. Merupakan isyarat ilmiah.
b. Merupakan sumber hukum.
c. Menerangkan suatu ibrah (teladan) dan kabar gaib, baik yang terjadi pada masa lalu, sekarang maupun yang akan datang.




4. Mutawattir
Al-Qur’an adalah yang telah dinukilkan secara mutawattir dari generasi ke generasi hingga terjaga keabsahan dan kemurniannya. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah saw: "Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan Zikr[Al-Qur'an] dan Kami pula yang senantiasa menjaganya.
Mutawatir menurut bahasa berasal dari kata al-Witr alias yang bersambung, dan menurut istilah fiqih Mutawatir adalah : hal yang dinukilkan dari sekelompok /generasi ke kelompok/ generasi lain yang tidak ada kemungkinan kerjasama antara mereka untuk menukilkan suatu kebohongan atau pendustaan. Hal-hal yang berasal dari sumber mutawatir merupakan hal yang telah terjamin keabsahan dan kemurniannya.
Macam-macam mutawatir adalah:
(a) mutawatir dari Sejak diterima oleh rasulullah saw hingga menyampaikannya tanpa melebihi ataupun mengurangi dari padanya
(b) mutawatir secara tilawahnya, alias dari sejak para sahabat menerima tilawahnya dari rasulullah saw ketika menyampaikannya hingga saat ini dinukilkan dari generasi ke generasi tanpa melebihi ataupun mengurangi
(c) qur'an diturunkan dengan 7 macam qira'at yang telah disampaikan rasulullah saw langsung dengan ketujuh macam qira'at tersebut kepada 7 tujuh tempat dimana masing-masing memiliki penyebutan huruf yang sedikit berbeda dengan tempat lain.hal demikian sebagaimana diterangkan oleh rasulullah saw yaitu untuk memudahkan bagi hamba-hambaNya dalam tilawah
(d) mutawatir dalam penukilannya sejak masa rasulullah saw hingga dibukukan dalam satu mushaf yang kita kenal sekarang ini.
Hal-hal yang memudahkan kelangsungan dan mutawatirnya al-qur'an yaitu:
1. Al-qur'an diturunkan secara berangsur-angsur hingga memudahkan dalam proses pembukuannya
2. Wahyu yang diterima oleh rasulullah langsung disampaikkannya kepada sahabatnya yang sedang berada dimajlis bersamanya. Hal demikian memudahkan dalam penghapalan secara lisan
3. Pengulangan al-qur'an yang dilakukan oleh rasulullah setiap tahunnya bersama malaikat jibril yaitu tepatnya pada bulan ramadhan. Bahkan pada tahun kewafatan rasulullah saw beliau mengulang hapalannya bersama malaikat jibril dua kali bukan sekali sebagaimana biasanya.

5. Bernilai ibadah
Membaca al-qur’an didalam ajaran islam dinilai sebagai ibadah, orang yang membacanya dijanjikan pahala disisi Allah.
Adapun pahala orang yang membaca al-Qur’an itu berbeda-beda. Menurut Ali bin Abu Thalib, pahala orang yang membaca al-Qur’an didalam salat adalah 50 kebajikan untuk tiap-tiap hurufnya, 25 kebajikan untuk tiap-tiap huruf yang dibaca diluar salat tetapi dalam keadaan suci (mempunyai wudhu), dan 10 kebajikan untuk tiap-tiap huruf yang dibaca diluar solat dan tidak mempunyai wudhu.
Pahala tidak hanya diberikan kepada orang yang membacanya saja, namun bagi orang yang mendengarkannya pun mendapatkan pahala di sisi Allah. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa pahala yang di terima oleh orang yang mendengarkan itu sama dengan pahala orang yang membacanya.


BAB III
KESIMPULAN
Secara etimologi kata “Al-Qur’an” ialah bentuk masdar dari asal kata qara’a yang artinya “bacaan”. Sedangkan secara terminologi ialah kalamullah (wahyu) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai mukjizat melalui perantara malaikat Jibril dengan secara mutawattir dan bernilai ibadah bagi yang membacanya.”
Adapun hal-hal yang terkait dengan Al-Qur’an :
Wahyu
I’jazul Qur’an
Mutawattir
Bernilai ibadah

DAFTAR PUSTAKA

As-Shalih, Subhi. Mabahits fi Ulumil Qur’an. Beirut, 1985.
Adnan, Taufik. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an: Forum Kajian Budaya dan Agama. Jogjakarta, 2001.
Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Ulumul Qur’an: Karya Abditama. Surabaya, 1997.
Al-Qatthan, Manna. Pengantar Ilmu Studi Al-Qur’an: Pustaka Al-Kautsar. Jakarta, 2006.
Anshari, Hafizh. Ensiklopedi Islam Juz 2: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta, 1999.
As-Suyuti, Jalaluddin. Penerjemah, Ammar Farikh Marzuki. Samudra Ulumul Qur’an Jilid I: PT Bina Ilmu. Surabaya, 2006.

Ilmu Asbabunuzul


Pendahuluan
Pada masa Nabi terkadang ada suatu pertanyaan yang dilontarkan kepada beliau, dengan maksud meminta ketegasan hukum atau memohon penjelasan secara terperinci tentang urusan-urusan agama, sehingga turunlah beberapa ayat dari ayat-ayat al-Qur’an, hal yang seperti itulah yang dimaksud dengan asbabun nuzul atau sebab-sebab turunnya al-Qur’an.
Pemaknaan ayat al-Qur’an seringkali tidak diambil dari makna letter lack. Oleh karena itu perlu diketahui hal-hal yang berhubungan dengan turunnya ayat tersebut. Sedemikian pentingnya hingga Ali ibn al-Madiny guru dari Imam al-Bukhari ra menyusun ilmu asbabun nuzul secara khusus. Kemudian ilmu asbabun nuzul berkembang sehingga memudahkan para mufassirin dalam menerjemahkan ayat-ayat al-Qur’an serta memahami isi kandungannya.
Dalam tulisan singkat ini akan sedikit membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan asbab-an-nuzul, mulai dari pengertian, macam-macam asbabunnuzul, fungsi pentingnya dari asbabunnuzul itu sendiri serta kaidah yang terkandung dalam penetapan hukum yang terkait dalam asbabunnuzul. Namun, kesempurnaan makalah ini kami sadari masih sangatlah jauh, sehingga mungkin bagi kita untuk terus belajar dan mendalaminya di kesempatan yang mendatang.

Pembahasan
A. Pengertian
Menurut bahasa (etimologi), asbabun nuzul berarti turunnya ayat-ayat al-Qur’an1 dari kata “asbab” jamak dari “sababa” yang artinya sebab-sebab, nuzul yang artinya turun. Yang dimaksud disini adalah ayat al-Qur’an. Asbabun nuzul adalah suatu peristiwa atau yang menyebabkan turunnya ayat-ayat al-Qur’an baik secara langsung atau tidak langsung.
Menurut istilah atau secara terminologi asbabun nuzul terdapat banyak pengertian, diantaranya :
1. Menurut Az-Zarqani
“Asbab an-Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat al-Qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”.
2. Ash-Shabuni
“Asbab an-Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama”.
3. Subhi Shalih

ما نزلت الآية اواآيات بسببه متضمنة له او مجيبة عنه او مبينة لحكمه زمن وقوعه
“Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi”2.
4. Mana’ al-Qathan
مانزل قرآن بشأنه وقت وقوعه كحادثة او سؤال
“Asbab an-Nuzul adalah peristiwa yang menyebabkan turunnya al-Qur’an berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi”3.
5. Nurcholis Madjid
Menyatakan bahwa asbab al-nuzul adalah konsep, teori atau berita tentang adanya sebab-sebab turunnya wahyu tertentu dari al-Qur’an kepada Nabi saw baik berupa satu ayat, satu rangkaian ayat maupun satu surat4.
Kendatipun redaksi pendefinisian di atas sedikit berbeda semua menyimpulkan bahwa asbab an-nuzul adalah kejadian/peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Qur’an dalam rangka menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian tersebut.
Mengutip pengertian dari Subhi al-Shaleh kita dapat mengetahui bahwa asbabun nuzul ada kalanya berbentuk peristiwa atau juga berupa pertanyaan, kemudian asbabun nuzul yang berupa peristiwa itu sendiri terbagi menjadi 3 macam :
1. Peristiwa berupa pertengkaran
Seperti kisah turunnya surat Ali Imran : 100
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.
Yang bermula dari adanya perselisihan oleh kaum Aus dan Khazraj hingga turun ayat 100 dari surat Ali Imran yang menyerukan untuk menjauhi perselisihan.
2. Peristiwa berupa kesalahan yang serius
Seperti kisah turunnya surat an-Nisa’ : 43
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
Menurut sebahagian ahli tafsir dalam ayat ini termuat juga larangan untuk bersembahyang bagi orang junub yang belum mandi.
Saat itu ada seorang Imam shalat yang sedang dalam keadaan mabuk, sehingga salah mengucapkan surat al-Kafirun, surat An-Nisa’ turun dengan perintah untuk menjauhi shalat dalam keadaan mabuk.
3. Peristiwa berupa cita-cita/keinginan
Ini dicontohkan dengan cita-cita Umar ibn Khattab yang menginginkan maqam Ibrahim sebagai tempat shalat, lalu turun ayat
والتخذ وامن مقام ابراهيم مصلّى
Sedangkan peristiwa yang berupa pertanyaan dibagi menjadi 3 macam, yaitu :
1. Pertanyaan tentang masa lalu seperti :
“Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tantangnya". (QS. Al-Kahfi: 83)
2. Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang berlangsung pada waktu itu seperti ayat:
               
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Isra’ : 85)
3. Pertanyaan tentang masa yang akan datang


“(orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah terjadinya?”
B. Macam-macam Asbab an-Nuzul
1. Dilihat dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbab an-nuzul
a. Sarih (jelas)
Artinya riwayat yang memang sudah jelas menunjukkan asbabunnuzul dengan indikasi menggunakan lafal (pendahuluan).
سبب نزول هذه الآية هذا...
Sebab turun ayat ini adalah
حدث هذا... فنزلت الآية
Telah terjadi …… maka turunlah ayat
سئل رسول الله عن كذا... فنزلت الآية
Rasulullah pernah kiranya tentang …… maka turunlah ayat.
b. Muhtamilah (masih kemungkinan atau belum pasti)
Riwayat belum dipastikan sebagai asbab an-Nuzul karena masih terdapat keraguan.
نزلت هذه الآية فى كذا...
(ayat ini diturunkan berkenaan dengan)
أحسب هذه الآية نزلت في كذا...
(saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan ……)
ما أحسب نزلت هذه الآية الا في كذا...
(saya kira ayat ini tidak diturunkan kecuali berkenaan dengan …)
2. Dilihat dari sudut pandang terbilangnya asbabun nuzul untuk satu ayat atau terbilangnya ayat untuk satu sebab asbab an-nuzul.
a. Beberapa sebab yang hanya melatarbelakangi turunnya satu ayat
b. Satu sebab yang melatarbelakangi turunnya beberapa ayat5.
C. Urgensi Asbabun Nuzul
1. Penegasan bahwa al-Qur’an benar-benar dari Allah SWT
2. Penegasan bahwa Allah benar-benar memberikan perhatian penuh pada rasulullah saw dalam menjalankan misi risalahnya.
3. Penegasan bahwa Allah selalu bersama para hambanya dengan menghilangkan duka cita mereka
4. Sarana memahami ayat secara tepat6.
5. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum
6. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an
7. Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan turunnya ayat al-Qur’an
8. Memudahkan untuk menghafal dan memahami ayat serta untuk memantapkan wahyu di hati orang yang mendengarnya7.
9. Mengetahui makna serta rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Qur’an8.
10. Seorang dapat menentukan apakah ayat mengandung pesan khusus atau umum dan dalam keadaan bagaimana ayat itu mesti diterapkan.
D. Cara Mengetahui Riwayat Asbab an-Nuzul
Asbab an-nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah saw. Oleh karena itu, tidak boleh tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya selain berdasarkan periwayatan (pentransmisian) yang benar (naql as-shalih) dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung turunnya ayat al-Qur’an9. Al-wahidi berkata :
لا يحل القول فى اسباب نزول الكتاب الاّ بالرواية والسماع ممن شاهدوا التنزيل ووقفوا على الاسباب وبحثوا عن علمها
“Tidak boleh memperkatakan tentang sebab-sebab turun al-Qur’an melainkan dengan dasar riwayat dan mendengar dari orang-orang yang menyaksikan ayat itu diturunkan dengan mengetahui sebab-sebab serta membahas pengertiannya”.
Sejalan dengan itu, al-Hakim menjelaskan dalam ilmu hadits bahwa apabila seorang sahabat yang menyaksikan masa wahyu dan al-Qur’an diturunkan, meriwayatkan tentang suatu ayat al-Qur’an bahwa ayat tersebut turun tentang suatu (kejadian). Ibnu al-Salah dan lainnya juga sejalan dengan pandangan ini.
Berdasarkan keterangan di atas, maka sebab an-nuzul yang diriwayatkan dari seorang sahabat diterima sekalipun tidak dikuatkan dan didukung riwayat lain. Adapun asbab an-nuzul dengan hadits mursal (hadits yang gugur dari sanadnya seorang sahabat dan mata rantai periwayatnya hanya sampai kepada seorang tabi’in). riwayat seperti ini tidak diterima kecuali sanadnya sahih dan dikuatkan hadits mursal lainnya.
Biasanya ulama menggunakan lafadz-lafadz yang tegas dalam penyampaiannya, seperti: “sebab turun ayat ini begini”, atau dikatakan dibelakang suatu riwayat “maka turunlah ayat ini”.
Contoh : “beberapa orang dari golongan Bani Tamim mengolok-olok Bilal, maka turunlah ayat Yaa aiyuhal ladzina amanu la yaskhar qouman”.
E. Kaidah Penetapan Hukum Dikaitkan dengan Asbabun Nuzul
Asbabun Nuzul sangatlah erat kaitannya dengan kaidah penetapan hukum. Seringkali terdapat kebingungan dan keraguan dalam mengartikan ayat-ayat al-Qur’an karena tidak mengetahui sebab turunnya ayat. Contohnya firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 115 yang artinya :
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Firman Allah itu turun berkenaan dengan suatu peristiwa yaitu beberapa orang mukmin menunaikan shalat bersama Rasulullah saw. Pada suatu malam yang gelap gulita sehingga mereka tidak dapat memastikan arah kiblat dan akhirnya masing-masing menunaikan shalat menurut perasaan masing-masing sekalipun tidak menghadap arah kiblat karena tidak ada cara untuk mengenal kiblat.
Seandainya tidak ada penjelasan mengenai asbabun nuzul tersebut mungkin masih ada orang yang menunaikan shalat menghadap ke arah sesuka hatinya dengan alasan firman Allah surat al-Baqarah ayat 11510.
KESIMPULAN
1. Asbabun nuzul adalah sebab turunnya al-Qur’an (berupa peristiwa/pertanyaan) yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Qur’an dalam rangka menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian tersebut.
2. Asbabun nuzul terdiri dari kata asbab (jamak dari sababa yang artinya sebab-sebab), dan nuzul (artinya turun).
3. Macam-macam asbabun nuzul ada 2, yaitu :
a. Dari sudut pandang redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbabun nuzul meliputi sharih dan muhtamilah
b. Dari sudut pandang terbilangnya asbab an-nuzul untuk satu ayat atau terbilangnya ayat untuk satu asbab an-nuzul meliputi :
1) Beberapa sebab yang hanya melatarbelakangi turunnya satu ayat
2) Satu sebab yang melatarbelakangi turunnya beberapa ayat
4. Urgensi asbabun nuzul
a. Penegasan bahwa al-Qur’an benar dari Allah.
b. Penegasan bahwa Allah benar-benar memperhatikan Rasul dalam menjalankan misi risalahnya.
c. Penegasan bahwa Allah selalu bersama para hambanya dengan menghilangkan duka cita mereka.
d. Sarana memahami ayat secara tepat.
e. Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
f. Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an.
g. Mengidentifikasi pelaku yang menyebabkan turunnya ayat.
h. Memudahkan menghafal dan memahami ayat serta memantapkan wahyu di hati orang yang mendengarnya.
i. Mengetahui makna serta rahasia yang terkandung dalam al-Qur’an.
j. Menentukan apakah ayat mengandung pesan khusus/umum.
5. Cara mengetahui riwayat asbabun nuzul melalui periwayatan yang benar dari orang-orang yang melihat dan melihat langsung turunnya ayat
6. Kaidah hukum yang belum jelas dalam al-Qur’an, dapat dipermudah dengan mengetahui asbab-nuzulnya. Karena dengannya penafsiran ayat lebih jelas untuk dipahami.

AL-Makkiy – AL-Madaniyah
Definisi

Istilah al-makkiy sebenarnya di ambil dari mana kota Makkah, tempat permulaan Rasulullah SAW mulai mengerjakan Islam. Ia merupakan kata sifat yang di sandarkan kepada kota tersebut. Sesuatu disebut al-makiy apabila ia mengandung kriteria yang berasal dari Makkah atau yang berkenaan dengannya. Begitu juga al-Madaniy, ia diambil dari nama kota Madinah, tempat Rasulullah SAW berhijrah dan membangun masyarakat Islam, yang darinya kelak ajaran Islam menyebar keseluruh penjuru dunia. Dalam perjalanan sejarah turunnya Al-Qur’an-yang akan menjadi kajian utama dalam tulisan ini tentu tidak kan lepas dari proses sejarah perjalanan dakwah Rasulullah saw, yang bermula dari makkah hingga Madinah.
Sekalipun kemudian da’wah Rasulullah SAW melebar, melewati batas-batas wilayah di luar kota Makkah dan Madinah, tetapi kedua kota ini tetap mempunyai peran dalam semua proses tersebut.
Al-Imam az- Zarkasyi (w.794H) dalam bukunya Al-Burhan fi ‘ulum al-Quran telah menyebutkan tiga variabel definisi mengenai al-Makky dan al-Madaniy, pertama, definisi berkonotasi tempat, bahwa al-Makky adalah unit wahyu yang diturunkan di Mekkah, dan al- Madanniy adalah unit wahyu yang diturunkan di Madinah. Kedua, definisi berkonotasi periode waktu, bahwa al-makkiy adalah unit wahyu yang diturunkan sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, dan al- madanny adalah yang diturunkan setelah hijrah. Ketiga, definisi berkonotasi objek wahyu, atau kepada siapa khitab-nya ditujukan, bila khitab wahyu ditujukan kepada penduduk Mekah maka ia tergolong Makkiyyah, tapi bila ditujukan kepada penduduk Madinah, maka ia tergolong Madaniyyah.11

Jumlah surah-surah Makkiyyah dan Madaniyyah
Kajian sangat mendalam dan teliti dalam masalah surah apa saja yang tergolong Makkiyyah atau Madaniyyah pernah dilakukan Imam al-suyuthi dalam karyanya al-itqan. Sebagai seorang yang menguasai berbagai bidang ilmu, termasuk ilmu Hadis, al-Suyuthi telah memaparkan beberapa riwayat dari para sahabat mengenai hal tersebut. Dan ternyata tema ini pernah menjadi pembicaraan hangat diantara para sahabat. Suatu bukti bahwa untuk mengetahui hakikat surah-surah Makkiyyah atau Madaniyyah harus merujuk kepada riwayat para sahabat, karena merekalah yang menyaksikan sejarah turunnya wahyu. Baru jika tidak ada riwayat, bisa merujuk kepada qiyas, yaitu melakukan studi perbandingan antara satu surat dengan lainnya, yang darinya akan tampak ciri- ciri Makkiyyah dan ciri-ciri Madaniyyah. Di sini al-Zarkasyi mengutip pernyataan al-Ja’bariy : “ Bahwa untuk mengetahui al-Makkiy dan al-Madaniy ada dua cara : sima’I (mendengar melalui riwayat) atau qiyasi (dengan studi perbandingan).12
Dari berbagai pendapat yang di paparkan al-Suyuthi, ada satu penelitian yang sangat kuat, yaitu penelitian Abu al-Hasan bin al-Hassar, dalam bukunya al- Nasikh wa al-Mansukh. Di sini Ibn al-Hassar menyebutkan bahwa jumlah surah-surah Makkiyyah dan Madaniyyah dalam ungkapan bait-bait nadaman, darinya bisa dipahami bahwa ada 20 surat disepakati tergolong periode Madinah : al- Baqarah, al-Imran, al-Nisa’, al-Maidah, al-Anfal, al-Taubah, al-Nur, al-Ahzab Muhammad, al- fath, al-Hujurat, al-hadid,al- Mujadalah, al-Hasr, al-Mumtahanah, al-Tahrim, al-Nasr. Dan ada 12 surat dipertentangkan : al- Fatihah, al-Ra’d, al-Rahman, al-Shaf, al-Taghabun, al-Tathif (al-Mutaffin), al-Qadar, al-Bayyinah, al- Zalzalah, al- Ikhlas, al- Falaq dan al-Nas. Sementara sisanya sebanyak 82 surah, disepakati tergolong dalam periode Mekkah.13
Mereka hali bertengkar yang sengit sekali, tukang berdebat dengan kata-kata yang pedas sehingga wahyu makki (yang di turunkan di makkah) juga berupa goncangan –goncangan yang mencekam, menyala-nyala saperti api yang member tanda bahaya disertai argumentasi yang sangat kuat dan tegas.
Demikianlah Al-qur’an surah makkiyah itu penuh dengan ungkapan-ungkapan yang kedengarannya amat keras di telinga seperti dalam surat Qori’ah, Gasyiah dan Waqi’ah dengan huruf hijaiyah pada permulaan surah dan ayat-ayatnya berisi tantangan di dalamnya, bukti-bukti alamiyah dan yang dapat di terima akal.
Parameter Makkiyyah dan Kekhususannya
Konsep Makkyyah dan Madaniyyah sebenarnya dibangun atas dasar informasi (baca : riwayat ) dari para sahabat dan tabi’in. Namun tidak semua riwayat sampai kepada generasi selanjutnya. Dari sini kemudian para ulama harus melakukan ijtihad dengan melakukan studi perbandingan secara komprehensif terhadap surah-surah dan ayat Makkiyyah atau Madaniyyah, yang darinya bisa didapatkan sejumlah parameter dan kekhususan dari masing-masing kelompok Makkiyyah dan Madaniyyah.
Beberapa parameter Makkiyyah yang diungkap para ulama sebagai berikut :
  1. Setiap surah yang mengandung ayat sajadah, ia termasuk Makkiyyah. Ayat sajdah ini terdapat di 14 tempat dalam Al-Quran : di al-A’raf, al-Ra’d, al-Nahl, al-Isra’, Maryam, al-furqan, al-Naml, al-sajdah, fussilat, al-Najm, al-Insyiqaq, Iqra’, dan dua tempat di al-Hajj.
  2. Surat yang pada bagian akhirnya atau separuh terakhirnya, terdapat lafal kalla, ia adalah Makkiyyah. Imam al-Darini menegaskan bahwa lafaz kalla tidak pernah turun di Madinah.14 Hikmah dari ungkapan ini adalah berupa teguran secara keras terhadap mereka yang sombong dan tidak mau menerima ajaran Rasulullah SAW.
  3. Setiap surah yang dimulai dengan sumpah qasam. Dalam hal ini ada 15 Surat : al-Shaffat, al-Dzariyat, al-Thur, al-Najm, al- Mursalat, al-Nazi’at,al-Buruj, al-Thariq, al-Syams, al-Lail, al-Dhuha, al-Tin, al-Adiyat, al-Ashr.
  4. Setiap surat yang dimulai dengan huruf hijaiyah seperti aliflam mim, ha mim dan sebagainya. Kecuali surah al-Baqarah dan al-Imran, karena kedua surah ini telah disepakati secara ijma’ sebagai Madaniyyah.
  5. Surah yang terdapat di dalamnya ya ayyuha an-nas dan tidak mengandung ya ayyuha al-ladhina amanu.15
Paramater Madaniyyah dan kekhususannya
Sesuai tabiat yang dihadapi, bagian Al-quran yang diturunkan di madinah mempunyai parameter dan kekhususannya tema yang lain lagi. Tapi hal ini bukan berarti bahwa penulisan Al-quran sangat dipengaruhi oleh lingkungan, sebagai mana yang dituduhkan sebagian orientalis.16 Mengapa?
  1. Al-quran bukan karangan nabi muhammad, sementara tuduhan ini adalah untuk menguatkan tesis yang mereka pertahankan bahwa Al-quran karangan nabi muhammad SAW.
  2. Jika demekian maka Al- quran adalah kalam Allah, yang maha tahu.dan jauh sebelum Allah menciptakan manusia Al-quran sudah dipersiapkan sedemikian rupa.
  3. Penurunan Al-quran kepada Rosulullah SAW secara berangsur- angsur, itu karena kebijakan Allah semata, berdasarkan pengetahuan-Nya yang Mahaluas dan sesuai dengan hikmah yang ia ketahui, jadi Rasulullah SAW tidak sama sekali bisa mencampuri urusan proses penurunan wahyu tersebut. Karenanya banyak peristiwa yang menggambarkan bagaimana Rasulullah SAW berhari-hario bahkan berbulan-bulan menunggu turunya wahyu, seperti peristiwa fatrotul al-wahyu (terputusnya wahyu), di mana dalam peristiwa ini rosulullah SAW-sebagaima dalam riwayat Imam bukhori- sangat sedih, karena sudah begitu lama wahyu tidak turun. Sementara kerinduan kepada turunya wahyu begitu kuat dan tidak tertahankan. Toh kendati demekian wahyu masih juga belum turun17.

Daftar pustaka
Muhammad Badr al Din al zarkasyi, Al Burhan fi ulum Al-Quran, (Darul Ma’rifah, Beirut, 1990),
H.A.R.Giibb, islam Historica, sebelumnya berjudul Muhammadanism
Jala al Din al suyuthi, al Itqaan fi Ulum Al-Quran,(Masyurat al Ridha, Baidar, 1343).
shahih Al-bukhori (dar ibn kasir al yaamamah, bairut 1987
Ahmadehirjin, Moh., Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Primayasa, 1998.
Al-Qathan, Mana’, Mabahits fi Ulumul Qur’an, Mansyurat al-Ahsan al-Hadits, t.tp., 1973.
Al-Utsaimin, Muhammad bin Shaleh, Dasar-dasar Penafsiran al-Qur’an, Semarang: Dina Utama, 1989.
Anwar, Rosihon, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2006.
As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985.
Shalih, Subhi, Mabahits fi ‘Ulumul Qur’an, Dar al-Qalam li Al-Malayyin, Beirut, 1988.
Syadali, Ahmad, dan Ahmad Rifa’i, Ulumul Qur’an I, Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Thaba’thaba’i, Allamah M.H., Mengungkap Rahasia al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1987.





1 Ahmad Syadali dan Ahmad Rifa’i, Ulumul Qur’an I, Bandung: Pustaka Setia, 2006, hlm. 89.


2 Subhi Shalih, Mabahits fi ‘Ulumul Qur’an, Dar al-Qalam li Al-Malayyin, Beirut, 1988, hlm. 132.
3 Mana’ al-Qathan, Mabahits fi Ulumul Qur’an, Mansyurat al-Ahsan al-Hadits, t.tp., 1973, hlm. 78.


4 Moh. Ahmadehirjin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Primayasa, 1998, hlm. 3

5 Dr. Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2006, hlm. 72.
6 Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Dasar-dasar Penafsiran al-Qur’an, Semarang: Dina Utama, 1989, hlm. 14-16.


7 Dr. Rosihon Anwar, op.cit., hlm. 64-66.

8 Allamah M.H. Thaba’thaba’i, Mengungkap Rahasia al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1987, hlm. 121.
9Dr. Rosihon Anwar, op.cit., hlm. 67.



10 Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985, hlm .


11 Lihat Muhammad Badr al Din al zarkasyi, Al Burhan fi ulum Al-Quran, (Darul Ma’rifah, Beirut, 1990), jilid 1, hlm 273-274

12 Lihat al-Zarkasy, al Burhan, jilid 1, hlm 276.

13 Lihat al-Suyuthi, al-Itqan, jilid 1 hlm 44-45

14 Lihat Ibid, jilid 1, hlm 69.

15 Lihat al Zarkasyi, al Burhan, jilid 1, hlm 275

16 Lihat H.A.R.Giibb, islam historica, sebelumnya berjudul Muhammadanism

17 Lihat Imam bukhori, shahih Al-bukhori (dar ibn kasir al yaamamah, bairut 1987 jilid 6 hlm.2561 Nomor hadis 6581.